Dulu, saya mengira setiap orang yang mau menikah di usia muda itu berarti sudah pasti siap lahir batin untuk membangun rumah tangga.
Saya sendiri sudah bersiap-siap menikah sejak SMA, saya baca berbagai buku tentang pernikahan, baik dari tinjauan psikologis, agama, kesehatan, bahkan buku-buku yang bercerita tentang tragedi pernikahan seperti perselingkuhan, poligami, dllsb. Saya baca semuanya memang untuk mempersiapkan mental.
Pikiran saya saat itu sederhana saja... Kalau cepat atau lambat saya pasti menikah, kenapa tidak bersiap-siap? Kalaupun ternyata jodoh saya tidak ada di dunia ini, setidaknya Allah sudah melihat usaha saya. Target saya, usia 19 tahun saya sudah siap menikah.
Saya juga sudah melobi orangtua agar diizinkan nikah muda, padahal saat itu saya belum punya calon. Saya juga sudah bicarakan ke dua orang kakak perempuan saya kalau saya minta izin menikah duluan. Saya sedemikian bersiap-siap karena saya menganggap pernikahan adalah hal yang penting.
Sedangkan untuk mendapatkan pekerjaan bagus saja, teman-teman saya rela belajar tinggi-tinggi sampai S1, S2, mengeluarkan uang yang cukup banyak, rela membeli berbagai judul buku, begadang untuk mengerjakan tugas, maka logika saya adalah... Aneh banget kalau untuk pernikahan, yang dipersiapkan hanya masalah gedung resepsi, calon pengantinnya, dana hajatan, menu catering, kocak! Padahal sebagian besar orang menghabiskan usianya dalam bingkai pernikahan.
Bagi saya, siap-siap nikah itu lebih penting pada visi-misi dan juga mental. Mental untuk mau memberi dan diberi, mental untuk mau mengerti dan dimengerti, mental untuk menerima kelebihan dan juga kekurangan pasangan, mental untuk dapat menerima perbedaan. Dalam pikiran saya, menikah itu bukan finish, melainkan start!
Makanya saya cukup syok mendapati fakta bahwa banyak juga perempuan/akhwat yang menikah muda tapi tanpa persiapan, mereka cuma berpikiran enaknya menikah, kalau jodoh udah datang yaa jangan ditolak, daripada pacaran mending langsung nikah. Yaa... Bener sih, tapi pernikahan kan nggak sesederhana itu!
Bayangkan kalau setelah menikah ternyata langsung hamil, kondisi tubuh dan mood perempuan hamil tuh beda banget loh! Cium bau asap knalpot aja bisa mual, bawaannya jadi males dan gampang emosi.
Belum lagi kalau sudah lahiran, mengurus anak tanpa adanya persiapan mental menjadi seorang ibu, bisa berabe! Ditambah lagi, banyak juga yang meskipun memakai KB, tetap tidak mempan, akhirnya tiap tahun melahirkan. Terbayang bagaimana kondisi psikis seseorang yang menikah tanpa persiapan? Masih banyak kasus-kasus lainnya yang membuat pernikahan tampak susah, sebenarnya bukan pernikahannya yang susah, tapi karena kitanya yang tidak mempersiapkan diri dengan baik.
Ibarat mau menghadapi ujian, tapi nggak pernah belajar materi ujiannya, ketika dirasa soalnya susah-susah yaa jangan salahkan siapa-siapa. Sedangkan orang-orang yang sudah mempersiapkan diri saja belum tentu bisa jawab soal ujian dengan baik... Ya kan?
Saya ingin mengatakan bahwa segala sesuatu sebenarnya relatif mudah asalkan kita persiapkan sebelumnya. Terutama adalah mempersiapkan hati/ mental. Saya sendiri telah merasakan perjalanan 7 tahun pernikahan, alhamdulillah pernikahan membuat saya lebih dewasa dan bahagia. Jadi lebih menghargai perbedaan, lebih mampu memaknai tanggungjawab, lebih dapat menikmati hidup.
Badai besar pernah menerpa rumah tangga kami, sekarang sudah berlalu, tapi bukan tidak mungkin di masa depan akan ada lagi, tapi alhamdulillaah... Yang namanya rumus hidup itu memang sederhana saja, jadi... Apapun persoalannya, rumusnya yaa itu-itu saja, demikian juga dalam pernikahan.
Jika ingin pernikahan terasa mudah, sebelum menghadapinya, persiapkanlah diri terlebih dulu. Baik secara materil, terlebih lagi non materil. Walaupun pernikahan ibarat berenang, tidak mungkin bisa jago hanya dengan membaca teori, melainkan harus langsung praktek. Tapi kalau tanpa persiapan apa-apa, bisa jadi tenggelam cuma karena kaki keram. Konyol kan? Betapa banyak pernikahan karam hanya karena masalah sepele, misalnya karena tidak mengerti perbedaan komunikasi laki-laki dan perempuan.
Kalau ingin merasakan pernikahan yang susah, tidak perlu siap-siap, hindari saja pernikahan sebisa-bisanya. Namun yang namanya fitrah, makin dihindari... Ironisnya justru makin mendekat.
Sekarang, pilihan di tangan kita. Tidak pernah ada kata terlambat atau terlalu cepat untuk sebuah persiapan. Bersiap-siaplah, sisanya... Percayakan pada Allah saja! Ia paling tahu yang terbaik untuk diri kita.
Semoga Allah kan selalu memudahkan dan memberkahi setiap urusan kita, termasuk urusan membina rumah tangga. Aamiin.
(Syamsa Hawa)
_______
*Penulis dengan nama asli Shinta Dewi Indriani ini merupakan Pemimpin Redaksi Annida (2011-sekarang). Lulusan Sastra Cina, UI 2008.
sumber: http://ift.tt/1sY8xQE
sumber : http://ift.tt/Y9OCoT
No comments:
Post a Comment