Thursday, September 25, 2014

Sempat Ditolak PDIP, DPR Akhirnya Sahkan RUU Jaminan Produk Halal




DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) pada Sidang Paripurna, 25 September 2014. Dengan pengesahan ini, semua produk yang beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal.



Sebelum disahkan, nasib RUU JPH terlunta lunta selama delapan tahun! Akhirnya Draft RUU JPH disetujui dalam rapat pleno Badan Legislatif (Baleg) DPR RI untuk diteruskan ke Paripurna. Dari 9 fraksi hanya PDIP yang menyatakan ketidaksetujuannya untuk melanjutkan RUU JPH ini ke tahap selanjutnya. (Baca: RUU JPH Masuk ke Paripurna)



Dalam sambutannya saat sidang Paripurna DPR, ketua Panja RUU JPH asal PKS Ledia Hanifa mengatakan, Undang-undang ini berisi 11 bab dan 68 pasal yang mengatur ketentuan tentang jaminan produk halal. Selama ini sulit dibedakan produk yang halal dan haram.



"Sasaran dari Undang-undang ini adalah memberikan keamanan dan kenyamanan masyarakat terutama umat Islam dalam menggunakan produk halal, menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya produk halal dan mewajibkan produsen untuk memberikan jaminan kehalalan produk," ucap politisi PKS itu.



Produk dimaksud adalah makanan, minuman, kosmetik dan lain-lain. Undang-undang ini juga mengatur terbentuknya Badan Penjamin Produk Halal di mana selama ini kehalalan produk ditangani oleh MUI.



Sementara itu, pimpinan rapat Sidang Paripurna DPR Priyo Budi Santoso menyambut baik dan menyampaikan terimakasih kepada semua pihak atas disahkannya RUU ini menjadi Undang-undang.



"Akhirnya kita mendapatkan jalan keluar dari RUU Jaminan Produk Halal, karena kemarin masih tarik menarik. Hari ini bisa ketok palu di akhir periode ini"‎ ucap Priyo, (25/9).



Dalam RUU yang disepakati oleh tim Panitia Kerja (Panja) RUU Halal bersama pemerintah, produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Hanya bagi pelaku usaha yang memang memproduksi dari bahan yang diharamkan berdasarkan syariat Islam wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produknya.



Beleid tersebut mengatur pelaku usaha wajib mencantumkan keterangan label halal pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk, dan tempat tertentu pada produk. Pelaku usaha yang tidak mencantumkan sertifikat, baik halal atau tidak halal, akan dikenakan sanksi administratif.



Sertifikat halal berlaku selama empat tahun sejak diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sertifikat wajib diperpanjang oleh pelaku usaha dengan mengajukan pembaruan paling lambat tiga bulan sebelum berakhirnya masa berlaku.



Biaya sertifikasi ditanggung oleh pelaku usaha yang mengajukan sertifikat. Meski demikian, BPJPH akan membebaskan biaya sertifikasi untuk usaha mikro dan menyubsidi sertifikasi usaha kecil.



Tak hanya itu, pelaku usaha pemohon sertifikat juga diwajibkan memiliki penyelia halal. Penyelia tersebut akan mengawasi proses produk halal dan mendampingi auditor saat pemeriksaan. Keberadaan penyelia harus dilaporkan kepada BPJPH.



Pada Jumat (19/9) tim Panja RUU JPH Komisi VIII bersama jajaran pemerintah melakukan rapat koordinasi dan pembacaan kesepakatan seluruh fraksi untuk membawa draf RUU ke sidang paripurna. Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU tentang JPH sekaligus Wakil Ketua Komisi VIII, Ledia Hanifa Amalia, mengungkapkan bahwa RUU JPH terdiri atas 11 bab dan 69 pasal.



Usai pembahasan, sembilan fraksi menyatakan setuju agar RUU tersebut dibawa pada Sidang Paripurna 25 September mendatang. Selain itu, dua fraksi, yakni PDIP dan Gerindra menyetujui dengan mengajukan beberapa catatan.



Terhadap draf yang diajukan, Menag mengusulkan revisi redaksional terhadap kalimat yang tertera dalam Bab VI tentang Kerja Sama Internasional Pasal 47 Ayat 2. Poin pasal yang direvisi, yakni kalimat "Produk Halal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak perlu dilakukan pemeriksaan kehalalannya sepanjang Sertifikat Halal diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (2)".



Menurut Menag, kalimat tersebut akan menutup kemungkinan adanya pemeriksaan ulang untuk produk luar negeri yang beredar di Indonesia. Terlebih, saat ada kelompok masyarakat yang mengajukan gugatan untuk pemeriksaan karena ada dugaan pemalsuan sertifikat halal.



Menag pun mengajukan revisi redaksi dengan kalimat "Produk Halal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak perlu diajukan permohonan sertifikat halalnya sepanjang Sertifikat Halal diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (2)". Revisi tersebut bertujuan agar terbuka peluang untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap produk asing bersertifikat halal jika dimungkinkan. Usulan pun di setujui seluruh fraksi. rep:c78 ed: a syalaby ichsan



Keterangan:

1.BPJPH: Menerbitkan sertifikat halal yang ditetapkan MUI, mencabut registrasi sertifikat halal, menetapkan dan mengakreditasi LPH, menerima laporan pemeriksaan LPH, melaporkan hasil pemeriksaan LPH kepada MUI.



2.LPH: Mengaudit dan memeriksa produk yang diajukan pelaku usaha, melaporkan hasil pemeriksaan kepada BPJPH.



3.MUI: Menerima laporan pemeriksaan LPH dari BPJPH, menetapkan fatwa halal produk, menyertifikasi auditor halal.



4.Pelaku usaha: Mengajukan sertifikasi halal kepada BPJPH, mencantumkan label halal atau tidak di produk.



(dari berbagai sumber/ibn)













sumber : http://ift.tt/YbdrAa

No comments:

Post a Comment