SUBSIDI ADALAH ILUSI?
Tahun ini pemerintah menetapkan kuota subsidi BBM Rp246,49 triliun untuk 46 juta kilo liter. Jika kita bagi angka itu, besarnya subsidi BBM adalah Rp5.358 per liter. Karena harga Premium "bersubsidi" saat ini Rp6.500, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan SUBSIDI oleh pemerintah adalah SELISIH antara harga BBM di PASAR DOMESTIK dengan harga BBM di PASAR INTERNASIONAL. Bisakah model perhitungan subsidi ini kita terima?
Sebelum kita menyoal struktur konsumsi BBM, dimana pemerintah dan para serdadu akademisnya selalu berkoar soal subsidi tidak tepat sasaran, kita pertama-tama memang harus 'clear' dulu di soal apa yang dimaksud dengan subsidi dan bagaimana metode perhitungannya.
Jika menggunakan model perhitungan pemerintah di atas, secara tidak langsung diasumsikan bahwa kita mengimpor 100% kebutuhan BBM kita dari pasar internasional, padahal kita tahu tidak demikian kenyataannya. Jelas, seandainya memang ada binatang yang disebut sebagai "subsidi" itu, pastilah angkanya tidak sebesar yang sering dikemukakan pemerintah.
Lalu, berapa angkanya?
Di sinilah persoalan pokoknya. Kita hanya bisa menghitung besaran subsidi jika kita memiliki angka biaya pokok produksi BBM, dimana karena kita merupakan net 'oil importer', maka biaya produksi itu terdiri dari dua macam.
Pertama, adalah biaya pokok produksi dari BBM yang kita produksi sendiri, dan kedua, biaya pokok produksi dari BBM yang kita impor. Angka inilah yang tidak pernah dikemukakan secara 'clear'.
Sudah dua tahun ini Pertamina masuk dalam daftar "Fortune Global 500", yang menunjukkan jika BUMN ini termasuk ke dalam perusahaan besar dunia yang menguntungkan. Jika Pertamina bisa untung, bukankah logikanya pemerintah juga mendapatkan keuntungan dari bisnis yang dioperasikan oleh BUMN ini? Lalu, bagaimana ceritanya ada "subsidi"?!
Soal struktur konsumsi BBM, memang betul, terjadi inefisiensi di sana, karena konsumsi BBM kita lebih banyak diserap oleh kendaraan pribadi daripada transportasi publik. Namun, jika harga BBM yang dinaikan, sebagai solusi, apakah efisiensi di dalam soal moda transportasi itu akan bergeser? Jelas tidak, karena 25% konsumen terkaya, yang katanya menyedot jatah "subsidi" sampai 77%, tetap memiliki daya beli yang cukup untuk menggunakan moda transportasi pribadi. Apalagi, transportasi publik yang memadai memang belum tersedia.
Lalu, siapa sebenarnya yang paling besar menanggung BEBAN kenaikan harga BBM itu? Lagi-lagi, kelompok 25% termiskin.
Jadi, ada dua masalah yang tidak saling terkait sebenarnya. Pertama, adalah inefisiensi di struktur konsumsi BBM. Kedua, ada defisit anggaran yang dialami pemerintah. Nah, dua masalah berbeda itu coba dikawinkan pemerintah dengan menjadikan subsidi BBM sebagai kambing hitam.
Efisiensi struktur konsumsi BBM itu tidak bisa diubah dengan menaikan harga, melainkan dengan cara memberikan disinsentif terhadap para pengguna kendaraan pribadi yang menyerap konsumsi BBM terbanyak, yaitu melalui kenaikan pajak kendaraan pribadi. Itupun dengan catatan pemerintah telah menyediakan transportasi publik yang memadai terlebih dahulu. Dengan begitu, pemerintah jadi punya tambahan pemasukan untuk menambal defisit anggaran, dan orang miskin jadi tidak terbebani oleh klaim deifisit anggaran tadi.*
(Tarli Nugroho)
sumber : http://ift.tt/1sWvBiz
No comments:
Post a Comment