Oleh Shofwan Al Banna
Anak-anak kecil itu berlari terengah-engah menuju hotel di tepi pantai Gaza yang berisi puluhan wartawan internasional yang sedang meliput Gaza.
“Setelah asap dari ledakan pertama mulai memudar, terlihatlah empat sosok yang memaksa kaki mereka berlari kencang...dari jarak sejauh 200 meter pun terlihat jelas bahwa setidaknya tiga dari mereka adalah anak-anak,” tulis Peter Beaumont, seorang wartawan The Guardian yang sedang bertugas di sana.
Mereka terus berteriak dan meminta bantuan. Para wartawan memberi mereka semangat untuk berlari menyelamatkan diri ke hotel. Namun, kecanggihan teknologi (dan kekejaman yang mengoperasikannya) rupanya jauh melampaui kecepatan kaki-kaki kecil mereka. Sebelum sampai ke hotel, ledakan keras menghantam anak-anak itu.
"Mereka yang menembak jelas-jelas menyesuaikan arah tembakan mereka untuk memburu mereka yang sedang mencoba menyelamatkan diri,” tutur Beaumont.
Empat anak-anak berusia tujuh hingga sebelas tahun itu pun tewas. Terbunuh. Oleh senjata dari salah satu angkatan perang paling kuat di dunia yang didanai negara adidaya terkuat di dunia tetapi terus membangun narasi sebagai korban yang terzalimi.
Nama mereka tidak boleh kita lupakan: dua bernama Muhammad, satu bernama Zakaria dan satu lagi bernama Ahed. Mereka semua dari keluarga Bakr. Mereka adalah anak-anak manusia.
Kekejian ini hanya fragmen kecil dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Israel. Hingga tanggal 20 kemarin, tercatat 434 warga Palestina tewas dan ribuan lainnya luka-luka. Mayoritas korban adalah masyarakat sipil.
Namun, peristiwa yang memilukan ini merupakan cermin dari apa yang sedang terjadi di Palestina. Israel dapat membunuh anak-anak dengan tenang, bahkan di depan hotel yang disesaki para wartawan, karena mereka tahu bahwa tidak akan ada yang menghukum mereka. Mereka memiliki kekebalan.
Amerika Serikat buru-buru menyesalkan peristiwa tersebut, tapi menegaskan bahwa yang bersalah adalah HAMAS dan bahwa Israel memiliki hak untuk membela diri. Ini adalah lampu hijau untuk pembantaian selanjutnya. Israel selalu bisa membunuh dan tinggal mengarahkan telunjuk mereka ke HAMAS (atau siapapun yang mereka kehendaki). Para pembelanya akan mengulang-ulang kaset rusak tentang bahwa “Israel hanya membela diri”.
Media massa internasional juga mengalami kesulitan untuk menceritakan apa yang terjadi. New York Times bahkan mengganti judul untuk menghilangkan kesan bahwa “Israel adalah penjahatnya.”
Berita NBC yang menyiarkan peristiwa di Gaza bahkan harus diawali dengan framing yang tegas “saat HAMAS meluncurkan roket dari Gaza, Israel membalas.”
Seorang wartawan senior yang meliput Gaza, Ayman Mohyeldin, ditarik oleh NBC setelah melaporkan situasi di Gaza dan menunjukkan simpatinya pada para korban. Ia kemudian dikembalikan lagi untuk bertugas setelah kritik bertubi-tubi datang pada NBC dari para jurnalis lain yang menilai Ayman sebagai seorang wartawan yang memiliki rekam jejak dan integritas sangat baik.
Benarkah Israel hanya membela diri?
Sebelum bicara soal roket, Israel awalnya memulai operasi ini dengan dalih untuk mencari tiga remaja Israel yang diklaim oleh Netanyahu diculik oleh HAMAS (tapi HAMAS menolak tuduhan ini).
Dengan dalih ini, Israel memulai operasi besar-besaran dan menangkap 350 orang Palestina, termasuk mereka yang dibebaskan melalui perjanjian gencatan senjata pada agresi militer mereka yang terakhir ke Gaza. Sekedar catatan, ketiga remaja tersebut tinggal di Gush Etzion, sebuah kawasan pemukiman yang menurut hukum internasional (Pasal 49 Konvensi Jenewa) disepakati sebagai daerah pemukiman ilegal.
Namun, jika penculikan itu, kalaupun benar dilakukan oleh HAMAS, dapat dijadikan dalih untuk serangan membabi buta ke Gaza, bukankah Palestina lebih memiliki hak untuk “membela diri”?
Menurut data resmi dari Kementrian Informasi Otoritas Palestina, sejak tahun 2000 hingga 2013, ada 1.518 anak-anak Palestina dibunuh oleh Israel. Artinya, setiap tiga hari, ada satu anak Palestina terbunuh. Banyak yang dibunuh tanpa alasan yang jelas, selain bahwa mereka adalah anak-anak Palestina.
Sebelum peristiwa penculikan tiga remaja Israel, Naftali Fraenkel, Gilad Shaer, dan Eyal Yifrah, yang terjadi pada tanggal 12 Juni 2014, terjadi pembunuhan terhadap dua remaja Palestina oleh tentara Israel.
Pada tanggal 15 Mei 2014, empat remaja Palestina ditembak dengan peluru tajam oleh serdadu Israel padahal mereka tidak bersenjata dan tidak melakukan apa-apa yang membahayakan. Dua meninggal dunia, bernama Nadim Nuwarah dan Muhammad Salameh. Israel tidak menyesal dan malah mengintimidasi saksi yang memiliki video yang merekam peristiwa tersebut. Seperti direkam oleh Human Rights Watch, serdadu Israel mengancam saksi tersebut dengan mengatakan bahwa “kami akan meremukkanmu seperti serangga.”
Kesimpulannya sederhana. Kalau Israel yang membunuh dan menculik, tidak apa-apa. Hanya membela diri. Kalau ada orang Palestina membalas, mereka adalah teroris dan Israel harus menghukum seluruh Gaza, termasuk anak-anaknya.
Argumen “Israel hanya membela diri” menutupi akar masalah yang sebenarnya: penjajahan atas Palestina dan kehendak Israel untuk memberangus segala hambatan atas proyek penjajahan yang mereka lancarkan.
Argumen lain yang sering digunakan untuk membela adalah bahwa “Israel ingin damai, tetapi Palestina yang tidak ingin berdamai.” Karena itu, HAMAS-lah (dan seluruh gerakan perlawanan yang lain) yang harus disalahkan karena tidak ingin berdamai.
Ada yang membela Israel dengan mengatakan bahwa orang-orang Yahudi dahulu membeli tanah di Palestina dengan harga mahal. Ya, tentu saja. Hal ini justru menunjukkan bahwa bangsa Arab Palestina tidak memiliki masalah dengan Yahudi yang ditindas oleh Eropa.
Yang mereka lawan adalah ideologi politik rasis bernama Zionisme, yang mengusir dua pertiga penduduk Palestina dari rumah mereka pada tahun 1948 dan melakukan pembantaian keji seperti yang terjadi di Deir Yasin. Yang mereka lawan adalah Zionisme yang memberikan semua Yahudi hak untuk menjadi warga negara Israel sambil mengusir orang-orang Palestina dan membuldozer rumah-rumah mereka untuk dijadikan pemukiman-pemukiman khusus Yahudi.
Proses perundingan damai yang sekarang dilakukan disponsori oleh Amerika Serikat yang keberpihakannya jelas. Israel menggunakan “perundingan-perundingan damai” (sekaligus menyiapkan beragam alasan untuk memperlambat prosesnya) untuk membeli waktu memperluas pemukiman ilegal sambil mengusir warga Palestina demi menciptakan politik ruang yang menghapus kemungkinan kemerdekaan Palestina.
Yang Israel dan Amerika Serikat tawarkan adalah Palestina yang “abal-abal”, karena kendali sepenuhnya tetap ada di Israel. Menurut perjanjian Oslo II, Palestina dibagi menjadi tiga kawasan: A, B, dan C. Kawasan A berada di bawah kendali otoritas Palestina. Kawasan B (22%) berada di bawah kendali otoritas Palestina dalam urusan sipil, tapi di bawah kendali militer Israel. Kawasan C, 60% dari total wilayah, berada di bawah kendali penuh Israel. Ini bagaikan Belanda mengakui Indonesia merdeka tapi tentara Belanda masih bisa seenak hati masuk ke rumah-rumah kita.
Negara boneka Palestina yang ditawarkan oleh Israel adalah negara yang dapat menjadi tempat Israel membuang ancaman demografis dari pertumbuhan penduduk Arab dan menjadi tempat membuang pengungsi, sambil tetap menguasai negara itu dalam kendalinya.
Palestina akan menjadi seperti “Bantustan” di Afrika Selatan pada zaman apartheid Afrika Selatan. Negaranya seakan merdeka, tapi tanpa kedaulatan politik, tanpa ekonomi, tanpa kuasa atas batas-batas wilayahnya, serta tetap menjadi subordinat dari Israel.
(Saya tidak perlu menjelaskan blokade Gaza di sini. Sudah terlalu panjang. Google it.)
Perdamaian tentu baik, tapi ia harus berangkat dari keadilan. Indonesia harus tegas berpihak pada kalimat dalam mukadimah konstitusinya:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
*sumber: http://ift.tt/1qjxPHu
sumber : http://ift.tt/1uFk4tr
No comments:
Post a Comment