Riyadh menutup pintu bagi Hamas, karena tidak ingin penguasa Jalur Gaza itu menjadi cabang Ikhwanul Muslimin. Lebih dari itu, Arab Saudi berniat melucuti kelompok perlawanan Palestina berapa pun biayanya.
Belakangan, Riyadh memimpin upaya ini, dengan Mesir dan Uni Emirat Arab sebagai pelaksananya. Semua langkah ini dikoordinir langsung oleh Amerika Serikat dan Israel.
Tidak sulit membuktikan dugaan ini. Caranya, baca usulan gencatan senjata yang diajukan Mesir, yang bermaksud melucuti senjata Hamas. Usulan ini disetujui, atau bahkan dipaksakan AS, seraya Israel terus membunuh anak-anak dan wanita Palestina.
Hamas relatif hanya bergantung pada Turki dan Qatar. Di level diplomatik, Turki rela mengorbankan hubungannya dengan Mesir. Sedangkan Qatar menyediakan kebutuhan finansial bagi seluruh rakyat Palestina di Jalur Gaza.
Informasi terakhir, menurut situs Al-akhbar, Riyadh menyusun proposi baru dengan maksud melucuti Hamas dan Jihad Islam. Perlucutan dilakukan dengan cara mengirim tentara ke Rafah, dengan iming-iming uang. Semua itu dibungkus dengan semangat rekonsiliasi.
Mahmoud Abbas melihat dirinya akan melakukan bunuh diri politik jika menerima usulan Riyadh. Alih-alih rekonsiliasi, Abbas melihat yang sedang dilakukan Arab Saudi adalah melemahkan perlawanan Palestina dan memicu perang saudara antara Hamas dan Jihad Islam.
Abbas telah memberi tahu Hamas dan Jihad Islam soal ini. Ia juga mengatakan serangan Israel tidak dimaksudkan untuk melemahkan rekonsiliasi, tapi memaksa Hamas menerima usulan gencatan senjata yang diajukan Mesir.
Qatar juga melihat niat terselubung Riyadh. Saat berkunjung ke Arab Saudi, 23 Juli lalu, Emir Qatar Tamim bin Hamad al-Thani mempersingkat pembicaraannya dengan Raja Abdullah, dan segera kembali ke Doha.
Al-Thani tahu Arab Saudi dan Mesir sedang berupaya melucuti Hamas. Jika Hamas bersedia, Riyadh berusaha membayar kompensasi seluruh korban tewas dan terluka.
Bagi Qatar, tidak sulit mencari bukti semua ini. Pernyataan Shaul Mofaz -- menteri pertahanan Israel -- pada 20 Juli adalah salah satunya.
Saat itu, kepada jaringan televisi Channel 10 Mofaz mengatakan bahwa tidak mungkin bagi Israel mendemiliterisasi Gaza, dan melucuti paksa Jihad Islam dan Hamas. Perlu upaya diplomatik dan ekonomi komprehensif, dan Arab Saudi serta Uni Ermirat Arab dalam memainkan peran penting dalam penyediaan dana untuk melaksanakannya.
Fakta lain adalah pernyataan Amos Gilad, mantan Direktur Biro Urusan Politik-Militer Kementerian Pertahanan Israel, bahwa kerjasama Israel dengan Mesir dan negara Teluk sangat unik. Ia juga mengatakan, ini adalah periode terbaik hubungan diplomatik Tel Aviv dengan Arab.
Sumber-sumber Hamas dan Jihad Islam di Jalur Gaza membenarkan adanya tawaran murah hati dari negara-negara Teluk untuk Abbas, sebagai imbalan perlucutan senjata, mencabut blokade ekonomi, rencana pembangunan komprehensif Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Satu hal yang tidak dilihat Riyadh, Kairo, dan negara-negara Teluk lainnya, adalah Jihad Islam, Hamas, dan faksi-faksi perlawanan, kini semakin kuat dan mampu bertahan dari gempuran Israel dan melakukan perlawanan dalam perang darat.
Menlu AS John Kerry yang justru melihat semua itu. Dalam wawancara dengan CNN, Kerry secara terbuka mengatakan Hamas bukan lagi pejuang amatiran.
Di medan tempur, setelah kehilangan 12 serdadunya dalam pertempuran darat Minggu lalu, juru bicara militer Israel Letkol Peter Lerner mengatakan; Hamas saat ini adalah pasukan yang menjalankan latihan ekstensif, suplai senjata yang baik, dan mampu bertempur dengan motivasi dan disiplin tinggi.
Kepada pers internasional yang dikutip situs Alalam.ir, Lerner juga mengatakan, "Kami tengah menghadapi lawan tangguh di medan perang."
Ketika Hamas dan Jihad Islam menolak semua usulan gencatan senjata, Israel terus membunuh dan membunuh. Namun, negeri Yahudi tersebut bukan satu-satunya yang bertanggung jawab atas kekejian itu. Tangan pemimpin Arab Saudi, Mesir, AS, dan UEA, juga berlumur darah bocah-bocah Palestina. (*inl/atjehcyber.net)
sumber : http://ift.tt/1l8oQWM
No comments:
Post a Comment