Kedatangan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla menghadiri peringatan sepuluh tahun Tsunami dipusatkan di Blang Padang, Banda Aceh, dinilai menjadi momentum Pemerintah Provinsi Aceh menagih janji pemerintah pusat. Hal ini dinilai tidak boleh dilewatkan oleh rakyat Aceh.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Muhammad Nasir Djamil, mengatakan kedatangan JK diharapkan bisa dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh menagih kewenangan dijanjikan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Menurut dia, pemerintah pusat hingga saat ini belum mewujudkan penerapan beleid diteken delapan tahun silam sebagai buah kesepakatan damai antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia.
"Gubernur harus meminta kepastian kepada pemerintah pusat terkait turunan UUPA. Karena ini sudah terlalu lama, dibandingkan UUPA yang disahkan tahun 2006, dan sekarang sudah 2014, artinya sudah delapan tahun Aceh menunggu," kata Nasir di Banda Aceh, Kamis 25 Desember 2014.
Nasir menyatakan, aturan-aturan mengenai kewenangan Aceh perlu segera dilaksanakan pemerintah pusat. Salah satunya adalah soal pengelolaan potensi minyak dan gas bumi, kemudian terkait pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah.
"Karena ini bicara apa yang bisa dilakukan daerah dan apa yang harus dilakukan oleh pusat. Karena semua harus ada aturannya," lanjut anggota Komisi III DPR itu.
Nasir menegaskan, penyelesaian seluruh turunan Undang-Undang Pemerintah Aceh menjadi kewajiban pemerintah pusat sebagai utang harus segera dibayar.
"Itu utang, dan utang itu harus dibayar oleh pemerintah pusat untuk menyelesaikan turunan UUPA," tegas Nasir.
Nasir menilai Jusuf Kalla sebagai orang yang tepat bagi Pemerintah Aceh untuk menagih semua hutang tersebut. Sebab, JK merupakan salah satu tokoh ikut memelopori lahirnya perdamaian di Bumi Serambi Mekah itu.
"Kita berharap Gubernur Aceh menagih janji-janji ini kepada JK, karena sekarang beliau kembali ada di posisi Wapres," ucap Nasir.
Undang-Undang Pemerintahan Aceh adalah Undang-Undang diteken pada 2006 isinya mengatur tentang pemerintahan Provinsi Aceh, Indonesia. Beleid itu adalah pengganti Undang-Undang Otonomi Khusus dan hasil kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, diteken di Helsinki, Finlandia, kemudian dikenal dengan Perjanjian Helsinki.
Penyetujuan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh menjadi undang-undang oleh DPR berlangsung pada 11 Juli 2006. Sementara pengesahan dilakukan oleh Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, pada 1 Agustus 2006.
Beberapa topik yang diatur dalam undang-undang ini adalah soal penerapan Syariat Islam yang diberlakukan sesuai tradisi dan norma di Aceh, potensi minyak dan gas dikelola bersama oleh pemerintah pusat dan Aceh, serta diizinkannya pendirian partai politik lokal.
sumber : http://ift.tt/1tgjhza
No comments:
Post a Comment