Banyak pelajaran dari tragedi kudeta yang didukung mafia ulama, aparat, militer, pengusaha, raja minyak, hingga raja media. Di awal kudeta, semua membantah bahwa yang terjadi adalah kudeta dan perang terhadap Islam. Namun anehnya, selalu yang menjadi korban adalah kalangan Islamis.
Langkah awal kudeta mematikan api revolusi di Mesir adalah, dengan menutup seluruh kanal TV Islamis yang tumbuh subur sejurus tak lama era rezim Mubarak tumbang. Tak kurang dari 50 channel TV satelit dimatikan. Bahkan web-web resmi, fanspage, hingga akun-akun FB dan twitter tak luput dari serangan mematikan.
Dua tahun lebih semua media dibungkam. Hadirlah Al-Jazeera Mubasyir (LIVe) Mesir yang menjadi primadona dan rujukan berita terkait Mesir. Aljazeera yang didukung awak media kawakan plus alat-alat canggih, mampu mengobok-obok jantung hati agresor kudeta. Praktis pertempuran media dimulai.
Teringat, saat badan intelejen Mesir di awal kudeta melakukan aksi "perusakan" sinyal Aljazeera. Pengacau sinyal didatangkan langsung dari Israel. Diletakkan di enam titik sentral. Sempat saya menyaksikan, Aljazeera Live Mesir gambarnya hanya setengah badan dengan suara yang tak karuan.
Dua tahun berjalan. Perang melawan Aljazeera terus dilancarkan. Kantor perwakilan ditutup. Seluruh alat siaran disita. Wartawan lapangan ditangkap dan dipenjarakan dengan tuntutan di atas 10 tahun penjara. Akhirnya, Aljazeera Mubashir Mesir resmi ditutup.
Namun, anak-anak muda antikudeta tak patah arang. Aljazeera boleh pudar, tapi spirit perlawanan tak boleh buyar. Alih-alih menghentikan aksi, kaum muda terus memberi inspirasi. Mesir tak boleh kembali ke zaman diktator absolut. Mesir harus membuka ruang bagi kebebasan ekspresi, supremasi hukum, keadilan sosial, dan kembalinya Syariat Islam menjadi sumber utama kehidupan.
Maka sebelum Aljazeera Mubashir Mesir ditutup, muncul channel TV Egypt Now (Mesir Al-Aaan), Mukammilin, channel Asy-Syarq, dan channel-channel TV lainnya yang mengisi kekosongan akibat ditinggalkan Aljazeera.
Indonesia nampak terjadi hal yang sama. Peran TVRI mulai dipinggirkan digantikan Metro TV. Media-media yang dimiliki kaum kaya Indonesia, nampak memoles aib-aib jadi prestasi. Targetnya sama, saling mengamankan satu sama lain agar kebusukan tak terbongkar dan beritanya mengalir sampai jauh.
Jika saja oposisi Indonesia cerdas, maka pilihan memaksimalkan media tandingan patut jadi simbol perlawanan terhadap rezim yang tak tahu diri dan tak tahu malu. Sayangnya, oposisi Indonesia belum melangkah jauh hingga menguasai channel-channel TV berkualitas. Akhirnya setiap hari disuguhi berita-berita yang dapat menyebabkan penyakit jantung, gugur kehamilan, impotensi, bahkan pembunuhan karakter.
(Nandang Burhanudin)
sumber : http://ift.tt/1wp93qA
No comments:
Post a Comment