Pada bulan Desember, persis sepuluh tahun silam, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan secara keseluruhan UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dan membatalkan sebagian UU No. 22/2001 tentang Migas.
Pembatalan sebuah UU, baik sebagian maupun secara keseluruhan, apalagi dengan label "inkonstitusional", mestinya memberi konsekuensi serius. Tapi sepertinya itu tidak pernah terjadi di negeri kita. "Inkonstitusional" hanyalah soal "administrasi hukum", bukan perkara yang teramat serius, sehingga bisa diakali secara administratif pula.
Itu sebabnya "harga pasar" yang terlarang dan inkonstitusional bisa diakali dengan ganti istilah "harga keekonomian", begitu juga dengan "BP Migas", bisa diakali dengan "SKK Migas". Akal-akalan semacam itu masih terus berlangsung, tak ubahnya dengan acara "Empat Mata"-nya Thukul Arwana yang kemudian berubah menjadi "Bukan Empat Mata" setelah dibredel Komisi Penyiaran Indonesia tempo hari.
Padahal, pelanggaran terhadap konstitusi, dengan kata lain tindakan dan/atau kebijakan yang inkonstitusional, adalah salah satu klausul yang di atas kertas konstitusi kita bisa membawa seorang pemimpin untuk dimakzulkan. Itu menunjukkan betapa sangat seriusnya konsekuensi dari "inkonstitusionalitas". Tapi kita sama-sama bisa melihat, banyak sekali putusan inkonstitusional yang dirilis MK ternyata tidak membawa konsekuensi konstitusional apapun.
Pasca-amandemen empat kali UUD 1945, kita memang mengalami banyak sekali keanehan konstitutif. Meski secara formil kini kita tidak lagi memiliki lembaga tertinggi negara, yang dulu dipegang oleh MPR, namun di atas kertas posisi itu kini ditempati MK. Problemnya, MK bukanlah lembaga yang memiliki kewenangan untuk membentuk UU. Itu sebabnya keputusan-keputusan MK hanya jadi macan kertas.
Ini adalah perkara serius yang ke depan harus segera kita pecahkan. Jika tidak, maka jangan salahkan jika praktik politik dan pemerintahan kita ke depan akan hidup dalam etik yang aneh: Anda tidak boleh mencuri sandal, tapi boleh melanggar konstitusi.
Rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas tentang penghapusan Premium, yang secara tidak langsung berarti penghapusan subsidi BBM, dan sebagai gantinya merekomendasikan pemerintah untuk hanya memberikan subsidi tetap Rp500 per liter untuk RON 92 (ekuivalen Pertamax), hanyalah bagian dari akal-akalan administrasi hukum tadi. Supaya tidak dituduh inkonstitusional, yang bisa berakibat pemakzulan, maka agenda liberalisasi sektor hilir migas kemudian menyertakan angka sakti "500" tadi.
Ya, cukup dengan lima ratus rupiah mereka bisa "membeli amanat konstitusi" kita. Bahkan, cukup dengan angka satu rupiah saja sebenarnya, di tengah sistem hukum tata negara kita, amanat konstitusi bisa dibeli dan dibatalkan.
Apa namanya praktik demikian jika bukan disebut sebagai "mengelabui konstitusi"?!
*dari wall fb Tarli Nugroho
sumber : http://ift.tt/1tpbzx7
No comments:
Post a Comment