Sabtu, 26 Februari 2005, menjadi salah satu hari bersejarah dalam dunia kesarjanaan di Indonesia. Ada 36 sarjana memajang namanya dalam sebuah iklan satu halaman penuh di Harian Kompas yang dipasang oleh Freedom Institute. Isinya? Dukungan kepada pemerintah untuk segera menaikkan harga BBM.
Dalam iklan yang berjudul "Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM?" itu, di bagian akhir narasi ditulis: "Kita harus berani memilih: bersembunyi di balik kekeliruan masa lalu, atau menghadapi persoalan sekarang untuk menyiapkan masa depan bersama yang lebih baik." Sangat meyakinkan. Bahkan, jika membaca bahasa keseluruhan iklan itu, malah terkesan jumawa.
Itulah kali pertama dalam dunia kesarjanaan kita para sarjana mengemukakan pendapatnya melalui sebuah iklan. Sekali lagi: MELALUI SEBUAH IKLAN!
Tiga puluh enam orang yang namanya tercantum sebagai pendukung iklan itu adalah: Agus Sudibyo, Andi Mallarangeng, Anggito Abimanyu, Anton Gunawan, Ayu Utami, Bimo Nugroho, Dana Iswara, Dino Patti Djalal, Dodi Ambardi, Fikri Jufrie, Franz Magnis Suseno, Goenawan Mohamad, Hadi Soesastro, Hamid Basyaib, Ichsan Loulembah, Jeannete Sudjunadi, Jeffrie Geovanie, Lin Che Wei, Luthfi Assyaukanie, Mohamad Iksan, Mohamad Sadli, M. Chatib Basri, M.S. Hidayat, Nirwan Dewanto, Nong Darol Mahmada, Nono Anwar Makarim, Raden Pardede, Rahman Tolleng, Rizal Mallarangeng, Rustam F. Mandayun, Saiful Mujani, Sofjan Wanandi, Sugiarto Chandra, Thee Kian Wie, Todung Mulya Lubis, dan Ulil Abshar Abdalla.
Dan iklan dukungan itu terbukti efektif. Per 1 Maret 2005, ketika pemerintahan SBY-Kalla baru berusia empat bulan, mereka menaikan harga premium sebesar 32 persen, dan solar dinaikan sebesar 27 persen. Masih pada tahun yang sama, ketika usia pemerintahan persis menjelang satu tahun, Oktober 2005, harga BBM dinaikan kembali dengan kisaran rata-rata 125 persen.
Tentu saja, iklan dukungan itu sebenarnya tidak benar-benar merupakan desakan kepada pemerintah, karena mereka yang memasang iklan itu pasti tahu bahwa pemerintah memang akan segera menaikan harga BBM. Iklan itu lebih merupakan pemberian legitimasi atas kebijakan yang akan segera diambil oleh pemerintahan baru SBY-Kalla waktu itu. karena didukung oleh para sarjana terkemuka, legitimasi iklan itu kemudian seolah bernilai akademis.
Sebelumnya, kita tahu, setelah ditetapkan sebagai pemenang Pilpres pada awal Oktober 2004, tim sukses SBY-Kalla sudah bergerilya melobi pemerintahan Megawati untuk segera menaikan harga BBM. Tujuannya apa lagi selain untuk menghindarkan pemerintah baru menaikan harga BBM di masa awal pemerintahannya. Namun Mega, yang dalam dua tahun pemerintahannya telah berkali-kali menaikan harga BBM, tak memenuhi permintaan itu. Dan itu telah membuat SBY-Kalla uring-uringan waktu itu.
Pemerintahan baru SBY-Kalla memang menghadapi tantangan yang tak mudah waktu itu. Selain resistensi dari masyarakat, pemerintah juga menghadapi problem hukum. Pada 15 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, terutama poin yang menyatakan bahwa “Harga Bahan Bakar Minyak dan Harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar” ditetapkan oleh MK sebagai bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Itulah konteks kenapa pemerintahan SBY-Kalla membutuhkan “legitimasi akademis” dari 36 sarjana terkemuka itu.
Apa yang terjadi sepuluh tahun lalu itu, dalam porsi yang terbatas, kini sedang berulang. Jokowi-Kalla bersama tim suksesnya, yang telah ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2014, sedang berusaha melobi pemerintahan SBY-Boediono untuk menaikan harga BBM sebelum presiden dan wakil presiden baru dilantik. Tujuannya apa lagi kalau bukan agar pemerintahan baru terhindar dari menaikan harga BBM di awal pemerintahannya.
Menyaksikan drama berulang ini, ada satu kesimpulan yang tegas: tenggelam dalam isu subsidi dan harga BBM di detik-detik awal pemerintahannya, menunjukkan bahwa pasangan Jokowi-Kalla sebenarnya tak memiliki konsep dan pola pikir yang berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan yang sebelumnya. Sulit membayangkan ada terobosan radikal, jika sejak awal mereka sudah tenggelam pada klise.
Argumen “subsidi salah sasaran”, atau “subsidi bukan dicabut, tapi dialihkan”, adalah klise yang telah lama kehilangan legitimasi.
Pada drama yang berulang ini, saya menunggu-nunggu dengan cemas, apakah drama para sarjana yang mendukung pencabutan subsidi BBM hampir sepuluh tahun yang lalu itu juga akan terulang? Lengkap sudah jika begitu.
Kira-kira, jika drama itu juga terulang, siapakah nama-nama baru yang akan memperpanjang daftar sejenis 36 nama tadi?
Kita bisa menamai mereka sebagai "sarjana serdadu". Dan target yang mereka buru selalu adalah subsidi rakyat. Sebab untuk menyerbu target lain, mereka tak punya nyali.
(Tarli Nugroho)
sumber : http://ift.tt/1suat39
No comments:
Post a Comment