Masih banyak yang berpendapat bahwa politik itu kotor dan harus dijauhi. Padahal, politik itu keharusan yang tak bisa dihindari.
Tak ada orang yang bisa menghindari politik karena setiap orang pasti hidup di suatu negara, sedangkan negara adalah organisasi politik tertinggi. Orang yang ingin memengaruhi kebijakan negara haruslah merebut kekuasaan politik. Orang yang menyatakan tidak mau terlibat dalam politik dan membiarkan kekuasaan politik diambil orang, maka dia terikat pada kebijakan-kebijakan pemenang kontes politik, betapa pun tak sukanya dia pada kebijakan itu. Karena itu, dapat dikatakan bahwa politik itu adalah fitrah atau sesuatu yang tak bisa dihindari.
Di dalam Islam pun, politik mendapat tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan taw(al-din wa al-sulthan tawamaan).
Agak lengkapnya Al- Ghazali mengatakan: “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik adalah saudara kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia.” Dari pandangan Al-Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa berpolitik itu wajib karena berpolitik merupakan prasyarat dari beragama dengan baik dan nyaman.
Karena paraktiknya politik itu banyak diwarnai oleh perilaku jahat, kotor, bohong, dan korup, timbullah kesan umum bahwa politik (pada situasi tertentu) adalah kotor dan harus dihindari. Jangankan kita, mujaddid Islam, Muhammad Abduh, pun pernah marah kepada politik dan politisi karena berdasarkan pengalaman dan pengamatannya waktu itu beliau melihat di dalam politik itu banyak yang melanggar akhlak, banyak korupsi, kebohongan, dan kecurangan-kecurangan.
Muhammad Abduh pernah mengungkapkan doa taawwudz yang biasanya hanya untuk menghujat setan, yaitu, “audzu billahi minassyaythaanirrajim” (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk) dispesifikkan oleh Muhammad Abduh ke dalam kegiatan politik menjadi “audzu billahi minassiyaasati wassiyaasiyyien”, (Aku berlindungkepada Allahdari godaan politik dan politisi) Tetapi dengan mengacu pada filosofi Al-Ghazali menjadi jelas bahwa berpolitik itu bagian dari kewajiban syarsyari karena tugas-tugas syarsyari hanya bisa direalisasikan di dalam dan melalui kekuasaan politik (organisasi negara).
Dalam kaitan inilah ada kaidah ushul fiqh yang menyebutkan “Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (Jika ada satu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kalau tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain wajib juga diadakan/ dipenuhi). Dengan kata lain, “jika kewajiban mensyiarkan nilai kebaikan Islam tak bisa efektif kalau tidak berpolitik, maka berpolitik itu menjadi wajib pula hukumnya.” Inilah yang menjadi dasar, mengapa sejak awal turunnya Islam, muslimin itu sudah berpolitik, ikut dalam kegiatan bernegara, bahkan mendirikan negara.
Dalam konteks keindonesiaan sekarang ini kaum muslimin tidak boleh apatis terhadap pemilihan presiden dan calon presiden. Kita tidak boleh bersikap “tidak akan memilih” pasangan capres/cawapres yang mana pun hanya dengan alasan tidak ada pasangan yang ideal. Kita tetap harus memilih karena siapa pun yang terpilih akan menentukan arah kebijakan negara yang juga mengikat kita.
Dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing pasangan capres/cawapres: Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah disaring melalui proses konstitusional yang sah. Semuanya sama baiknya, atau, sama tak baiknya. Tak ada yang boleh mengatakan bahwa secara mutlak pasangan yang satu lebih baik dari pasangan yang lain. Semua tergantung penilaian kita masing-masing. Kata sekelompok orang pasangan Prabowo-Hatta lebih baik karena ini dan itu, sedangkan pasangan Jokowi-JK lebih jelek karena ini dan itu.
Tetapi kata sekelompok orang lainnya pasangan Jokowi-JK lebih baik karena bla-bla-bla, sedangkan pasangan Prabowo-Hatta lebih jelek karena bla-bla-bla. Jadi kedua pasangan ada kelebihan dan kekurangannya serta ada pendukung dan penolaknya masing-masing. Menghadapi alternatif seperti itu kita harus tetap memilih dengan kesadaran penuh bahwa takkan pernah ada alternatif yang ideal untuk dipilih. Bahkan, mungkin saja, semua alternatif yang tersedia semuanya sangat tidak ideal. Jika demikian halnya, maka ada kaidah akhaff al-dhararain, yaitu memilih yang paling sedikit jeleknya di antara alternatif-alternatif yang sama-sama jelek.
Dalam hal prinsip dan sistem pemerintahan, misalnya, tidak ada yang betul-betul baik dari antara sistem-sistem yang tersedia. Baik teokrasi, demokrasi, monarki, aristokrasi, oligarki, maupun tirani semuanya samasama tidak ideal dan mengandung segi-segi kelemahan.
Tetapi, sebagian terbesar negara-negara di dunia memilih prinsip dan sistem demokrasi, bukan karena sistem itu bagus melainkan karena ia mengandung kelemahan yang paling sedikit jika dibanding dengan sistem yang lain. Maka itu, pilihlah yang terbaik dari yang ada, meskipun tidak ideal.***
Moh. Mahfud MD
Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta
*sumber: http://ift.tt/1iil23p
sumber : http://ift.tt/1iil23r
No comments:
Post a Comment