Pemerintah sadar bahwa kelas menengah adalah populasi terbesar di Indonesia dan mereka memiliki daya beli untuk menunjang gaya hidup konsumtif. Bisa jadi, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nanti (artikel ini ditulis seblum kenaikan BBM -red) tidak akan berpengaruh banyak terhadap nafsu konsumsi mereka. Umpamanya, dengan adanya kenaikan BBM, apakah mereka akan meninggalkan atau berhenti pakai kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi umum? Mungkin tidak.
Ini terlihat dari data dari Standard Chartered Research (2011) tentang populasi mobil di Jakarta tahun 2005-2009 yang naik jumlahnya hampir dua kali lipat. Meskipun harga BBM sempat naik beberapa kali pada rentang waktu itu, toh kelas menengah tidak akan mengerem keinginan membeli mobil baru. Dengan daya beli yang mumpuni, mereka akan merasa baik-baik saja walaupun harga BBM naik mengikuti pasaran internasional.
Barangkali, kelas menengah akan terusik apabila Pemerintah ambil kebijakan kenaikan pajak progresif kepemilikan kendaraan pribadi. Ini terlihat dari sedikitnya suara aspirasi mereka di jagat media online mengenai pajak progresif kepemilikan kendaraan pribadi di tengah isu pencabutan subsidi BBM. Apabila pajak progresif ini berlaku, dapat dibayangkan bahwa ini akan mengusik nafsu membeli mobil baru di kalangan konsumen kelas menengah.
Apatis
Dalam artikelnya berjudul The Future of History (2012), Francis Fukuyama sedikit menyentil bahwa kelas menengah tidak akan tertarik menjadi kelas oposisi bagi suatu pemerintahan apabila kebijakan pemerintah tidak akan mengganggu gaya hidup konsumtif mereka. Bahkan, demi mengamankan posisi dan kemakmurannya, menurut Fukuyama mereka rela mendukung rezim otoriter seperti di Cina dan Thailand. Dengan kata lain, mereka akan cuek-bebek terhadap berbagai isu di luar yang mengusik kepentingannya. Apatis dan oportunistis.
Isu kenaikan BBM atau pencabutan subsidi BBM akhir-akhir ini menjadi bukti fenomena betapa cuek-bebeknya kelas menengah terhadap kemungkinan semakin terpuruknya daya beli kelas bawah akibat kenaikan harga di semua sektor. Contoh aktual adalah mereka siap mendukung program revolusi mental ala pemerintahan baru nanti: beralih dari BBM subsidi ke BBM pasar internasional. Mereka merasa tidak masalah apabila harga BBM harus naik mengikuti harga standar internasional. Barangkali, naiknya harga BBM itu tidak akan berpengaruh besar terhadap gaya hidup konsumtif mereka.
Yang paling merasakan dampak langsung kenaikan BBM adalah masyarakat kelas bawah. Mereka adalah kelompok masyarakat yang memiliki daya beli rendah, sehingga kenaikan harga BBM akan sangat berdampak bagi mereka untuk bisa mengakses semua kebutuhan pokoknya. Ketika semua harga kebutuhan naik, maka mereka akan mengencangkan ikat pinggang kemampuan daya belinya. Prihatin.
Oleh karena itu, saya tidak heran jika banyak kalangan aktivis sosial banyak menyindir kelas menengah sebagai kelas banci. Mereka memilih jalan aman untuk merespon isu tertentu dan acuh terhadap isu yang tidak mengusik kepentingannya. Umpamanya, dalam beberapa hari ini, Netizen dan kelas menengah senang merespon berita seorang mahasiswa berinisial FS yang menulis di media sosial dengan nada menghina kota Jogja gara-gara antri BBM. Menurut saya, ini bukanlah kasus yang memiliki dampak besar, tetapi respon terhadap isu ini jauh lebih menarik daripada isu kenaikan BBM (pencabutan subsidi) itu sendiri. Anomali.
Revolusi Mental atau Mental Revolusi?
Di tengah isu kenaikan BBM, banyak pakar menyarankan agar Pemerintah baru nanti bersedia memakssa kelas menengah untuk menggunakan BBM non-subsidi sebagai perwujudan (manifestasi) dari revolusi mental. Selama ini, masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan BBM subsidi harus beralih ke BBM non-subsidi. Inilah bentuk revolusi mental.
Apabila maksud dari gagasan revolusi mental ini seperti di atas, maka saya merasa sebenarnya gagasan itu tidak akan mengubah apapun kecuali menaikkan harga BBM sesuai dengan harga pasaran global dan menekan daya beli kelas bawah.
Dampak lainnya adalah “mempersilakan” para pemain industri migas asing asyik-masuk ke pasar hilir migas Indonesia. Hampir 90% sumur pengeboran minyak di Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing. Perusahaan plat merah Pertamina hanya punya 10%. Selama ini, kendala perusahaan asing masuk ke industri hilir migas di Indonesia adalah adanya subsidi BBM yang dijual monopoli oleh Pertamina. Mereka tidak bisa berkompetisi dengan SPBU Pertamina karena menjual BBM subsidi, sedangkan Total, Shell, Petronas, dll., mematok harga BBM pasar internasional.
Saya khawatir, isu pencabutan subsidi BBM dan menaikan harga BBM ini bukanlah wacana tentang pengalihan subsidi BBM ke program pro rakyat, melainkan jalan membuka “karpet merah” industri hilir migas di Indonesia untuk perusahaan asing. Apabila sektor hulu sudah didominasi asing dan sektor hilir didesak untuk dibuka pasarnya melalui mekanisme harga pasaran dunia (melalui pencabutan subsidi BBM untuk rakyat), maka sudah bisa dipastikan negeri ini akan jadi pasar perusahaan asing. Dengan populasi kelas menengah yang besar dan jumlah kendaraan banyak, ini adalah target pasar mereka. Jika sudah demikian, maka saya usulkan kita tidak hanya butuh revolusi mental, melainkan harus punya mental revolusi. Mental revolusi adalah menolak pencabutan subsidi BBM bagi masyarakat (karena subsidi adalah hak rakyat) dan tolak liberalisasi sektor hilir migas. Bagaimana pendapat Anda?
Penulis: Iryan Ali Herdiansyah, Business Analyst Inventure
(Ditulis pada Agustus 2014, sebelum kenaikan harga BBM)
*sumber: inventure.co.id
sumber : http://ift.tt/1F7rF3S
No comments:
Post a Comment