Wanda Hamidah - Foto : Riset |
Siapa tak kenal politisi perempuan berwajah cantik Wanda Hamidah? Wanda adalah aktivis mahasiswa '98 yang turut menjadi saksi mata dari insiden penembakan mahasiswa Trisakti. Insiden yang kemudian memicu kerusuhan sistematis di Jakarta tahun 1998.
Selepas menjadi aktivis, Wanda yang sejak kecil gemar membaca dan menonton berita di televisi, memutuskan untuk bergabung ke dalam partai berlambang matahari. Di bawah partai tersebut, Wanda menjadi representasi warga Jakarta di gedung dewan rakyat daerah Jakarta.
Keputusannya untuk tidak mencalonkan diri lagi dalam pemilihan legislatif tahun 2014 ini membebaskan Wanda dari kungkungan keterikatan dengan partai. Ia kemudian memilih memberikan dukungan kepada (ketika itu) calon Presiden Jokowi.
Alasannya jelas. Wanda, sebagai aktivis, merasa tahu persis kapasitas dan kapabilitas lawan Jokowi (ketika itu Prabowo Subianto. Di mata Wanda, Prabowo yang ‘beraroma’ militer, dianggapnya sangat memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk ‘membungkam’ publik melalui tindakan-tindakan represif.
Berikut beberapa twit Wanda tertanggal 4 Juni 2014 yang mengungkapkan pemikirannya. Di situ jelas tertulis peringatan-peringatannya untuk publik. Meski tak menunjuk pihak mana yang akan membuat publik 'menyesal", twit-twit sebelum dan sesudahnya menunjukkan nasihat tadi ditujukan untuk pendukung Prabowo Subianto. Sekali lagi, wajar bila Wanda menuliskan hal-hal tersebut. Ia adalah saksi mata peristiwa 98. Sedikit banyak, ia memiliki trauma mendalam mengenai tindakan represif militer dan polisi.
Twit Wanda - Foto : Twitter |
Namun alangkah menjadi menarik, bila sejak dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, Jokowi, yang dipilih dan dianggap Wanda mampu mewakili sosok rakyat sederhana yang lugu dan polos, jauh dari tindakan represif, selalu mengedepankan diskusi dan lobi yang sehat melalui makan malam, kini menunjukkan hal yang sebaliknya.
Media negeri ini mencatat, ada banyak upaya pembungkaman oleh para penguasa negeri. Mulai dari penangkapan buruh tusuk sate hingga tindakan polisi menyerbu mushala di Pekanbaru, dan bentrok mahasiswa + rakyat versus Polisi di Makassar yang menewaskan 1 orang tersebut. Semua terjadi pada rezim Jokowi.
Bisa saja, para pendukung Jokowi membela diri dan mengatakan, “Ah, itu salah Kapolri. Jokowi sih tidak pernah seperti itu..”. Atau mungkin akan muncul kalimat seperti ini, “Pecat Kapolri yang tak mampu menerjemahkan kebijakan Jokowi!”. Seperti yang hari ini, Jumat, 28 November 2014 nampak di media-media mainstream dan ruang-ruang media sosial. Alih-alih membela saudaranya, mereka ini rela mengarang cerita untuk membela penguasa.
Lalu bagaimana pula dengan pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Dr. Yuddy Chrisnandi ini?
Peringatan dari menteri PAN-RB Yuddy Chrisnandi - Foto : Twitter |
Rakyat diancam, ditakut-takuti agar diam membisu dan tak memprotes kebijakan penguasa. Ketakutan Wanda Hamidah dan beberapa gelintir rakyat lain akan munculnya rezim otoriter dan represif pasca Soeharto, kini menjadi kenyataan. Sayangnya, tindakan otoriter itu dilakukan oleh rezim sipil Jokowi yang kemenangannya dielu-elukan (konon) oleh 70 juta rakyat Indonesia. (fs)
sumber : http://ift.tt/1vVUtNa
No comments:
Post a Comment