Sunday, November 2, 2014

KIH Bisa Seenaknya Berhentikan Pimpinan DPR?



Pernyataan politisi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) bahwa mereka membentuk Pimpinan DPR sementara dan memberhentikan Pimpinan DPR hasil sidang paripurna 2 Oktober 2014 patut disayangkan.



“Mereka tidak bisa seenaknya memberhentikan pimpinan DPR yang terpilih,” tegas Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad melalui siaran pers di Jakarta, Minggu (2/11/2014).



Menurut dia, pemberhentian Pimpinan DPR harus dilakukan dengan memenuhi alasan-alasan tertentu dan dengan cara -cara tertentu yang diatur dalam Tata Tertib DPR yang merupakan turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).



Pasal 37 tata Tertib DPR mengatur bahwa pemberhentian pimpinan DPR hanya dapat dilakukan dengan alasan apabila pimpinan DPR berhalangan tetap selama tiga bulan berturut-turut, melanggar sumpah/janji jabatan dan Kode Etik, dinyatakan bersalah dalam tindak pidana dengan ancaman lima tahun, diusulkan oleh partai politiknya, ditarik keanggotaannya sebagai anggota parpol dan melanggar ketentuan larangan dalam UU MD3.



“Tidak satupun dari alasan-alasan tersebut di atas yang terjadi pada salah satu atau seluruh pimpinan DPR hasil paripurna 2 Oktober 2014 sehingga tidak ada dasar hukum apapun untuk memberhentikan mereka,” terangnya.



Sedangkan mengenai cara pemberhentian diatur dalam Pasal 39,41,42 Tatib DPR yang membatasi pemberhentian hanya bisa dilakukan jika diajukan oleh Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) atau partai politik dimana pimpinan DPR tersebut berasal.



Sampai saat ini MKD dan partai politik juga tidak pernah mengajukan proses pemberhentian salah satu atau seluruh pimpinan DPR hasil rapat paripurna 2 Oktober 2014 lalu. “Cara pemberhentian yang dilakukan oleh politisi KIH dengan menggelar apa yang mereka sebut rapat paripurna tentu tidak dapat dibenarkan,” Sufmi menambahkan.



Selain tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan, secara politik tindakan politisi KIH juga mengandung sejumlah inkonsistensi. Yang pertama pemilihan Pimpinan DPR versi KIH tidak konsisten dengan “isu utama” mereka terhadap UU MD3 sendiri yaitu pemenuhan azas proporsionalitas. Selama ini mereka menuntut agar partai pemenang pemilu-lah yang berhak menempatkan kader mereka sebagai Ketua DPR.



“Nyatanya mereka memilih Ida Fauziyah dari PKB, partai peraih kursi terbanyak keenam sebagai Ketua DPR versi mereka. Seharusnya jika mereka mau konsisten, maka ketua DPR versi mereka adalah kader PDIP,” ulasnya.



Poin kedua adalah pengabaian putusan MK dalam uji materiil UU MD3 dimana mereka sendiri berstatus sebagai pemohon. Pada saat MK belum memutuskan perkara tersebut mereka ngotot meminta pemilihan pimpinan DPR harus dilakukan setelah keluarnya putusan MK, namun setelah MK mengeluarkan putusan yang menolak permohonan mereka, mereka tetap saja menolak UU MD3.



Seharusnya sebagai anggota DPR yang salah satu tugas pentingnya adalah mebuat UU, politisi KIH memberi contoh yang baik kepada rakyat untuk menghormati UU. Sepahit apapun isi UU bagi mereka, tetap harus dipatuhi karena itulah acuan resmi kehidupan berbangsa dan bernegara.



Ibarat pepatah jika guru kencing berdiri maka murid akan kencing berlari , kami khawatir perilaku politisi KIH ini bisa dicontoh masyarakat untuk tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku jika merasa kepentingan mereka tidak terakomodir,” ingatnya.



Kendati demikian, dia memahami bahwa mungkin saja KIH khawatir kebijakan pemerintah Jokowi-JK akan mudah dijegal jika mereka tidak menduduki posisi alat kelengkapan DPR.



“Tapi kekhawatiran tersebut hendaknya dihilangkan karena petinggi-petinggi KMP sudah berulangkali menegaskan bahwa mereka tidak akan menjegal kebijakan pemerintah yang pro rakyat,” tutupnya. [okezone/fs]





sumber : http://ift.tt/1vyEHlO

No comments:

Post a Comment