Oleh Andi Irawan, Peminat Telaah Ekonomi Indonesia*
Dalam teori ekonomi mikro ada konsep tentang money illusion. Konsep ini menggambarkan bahwa orang, perusahaan, atau bahkan negara secara psikologis merasa mempunyai lebih banyak uang secara angka nominal, tapi tidak secara riil.
Saya termasuk yang khawatir bahwa pemerintah, ketika meningkatkan harga BBM ini, terperangkap oleh fenomena money illussion. Sebagaimana yang diketahui, terhitung sejak 18 November 2014, pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla menaikkan harga Premium dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 dan harga solar dari Rp 5.500 menjadi Rp 7.500. Menurut pemerintah, dengan meningkatkan harga BBM sebesar Rp 2.000, baik untuk solar maupun Premium, mereka dikatakan mempunyai uang sekitar Rp 100 triliun. Uang ini bisa digunakan untuk membangun infrastruktur, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan sektor produktif lainnya.
Ya, katakanlah benar pemerintah punya uang Rp 100 triliun dari hasil penghematan tersebut, tapi pertanyaannya, apakah uang itu riil atau sekadar nominal? Jangan-jangan jumlah uang riilnya nol.
Anda tahu dengan naiknya BBM inflasi akan naik. Inflasi naik, harga barang-barang akan naik, termasuk barang modal. Kita ambil angka inflasi versi pemerintah yang sebesar 7,3 persen. Artinya, uang Rp 100 triliun itu tergerus oleh inflasi ketika mau digunakan untuk membeli mesin, semen, barang, dan jasa untuk membangun infrastruktur. Dengan inflasi 7,3 persen, berarti kekuatan daya beli (riil uang Rp 100 triliun) itu tinggal Rp 92,7 triliun karena tergerus inflasi.
Kedua, para pegawai negeri dan pegawai negara lainnya (TNI-Polri, pegawai BUMN, pensiunan, dan lain-lain), agar pendapatan riilnya tidak tergerus inflasi, gaji dan honor mereka dinaikkan. Pengeluaran rutin lainnya juga meningkat, seperti perawatan kantor-kantor pemerintah, peralatan kantor, perjalanan dinas pejabat dan pegawai, dan kendaraan dinas. Rata-rata pengeluaran rutin pemerintah adalah 50 persen dari APBN yang sebesar Rp 2.000 triliun atau sekitar Rp 1.000 triliun. Karena penyesuaian akibat inflasi untuk pengeluaran rutin negara sebesar 7,3 persen (sesuai dengan inflasinya), uang Rp 100 triliun tadi tergerus lagi kekuatan riilnya sebesar Rp 73 triliun.
Ketiga, naiknya BBM memicu kenaikan biaya produksi karena dua hal, yakni dampak langsung dari komponen BBM dan dampak tidak langsung karena tuntutan kenaikan upah buruh serta kenaikan bunga pinjaman perbankan. Bunga pinjaman naik karena BI menaikkan bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis point menjadi 7,75 persen. Dampak ikutannya, akan ada industri yang kolaps (gulung tikar) atau paling tidak pendapatan mereka menurun. Implikasi lanjutannya, kemampuan mereka dalam membayar pajak negara juga menurun. Akibatnya, penerimaan negara melalui pajak akan semakin turun pula. Saat ini penerimaan negara dari pajak adalah sebesar Rp 1.246 triliun. Untuk itu, jika kolapsnya industri nasional hanya berdampak sangat kecil terhadap penerimaan pajak (kita ambil yang optimistis), katakanlah hanya turun 1,5 persen, dampak kenaikan BBM telah menurunkan penerimaan pajak sebesar Rp 18,69 triliun.
Jadi, kekuatan uang Rp 100 triliun dari menaikkan BBM itu tergerus lagi oleh menurunnya penerimaan negara dari pajak, yakni menjadi Rp 1,01 triliun (Rp 100 triliun-Rp 7,3 triliun-Rp 73 triliun-Rp 18,69 triliun). Artinya, dengan menaikkan harga BBM sebesar Rp 2.000, pemerintah hanya mendapat tambahan riil uang sebesar Rp 1,01 triliun, bukan sebesar Rp 100 triliun seperti yang diharapkan pemerintah.
Itulah penjelasan fenomena money illussion yang terjadi dalam konteks kenaikan harga BBM 18 November 2014. Pemerintah memang punya uang nominal dalam angka sebesar Rp 100 triliun sebagai dampak dari penghematan tersebut. Tapi tidak dalam kekuatan uang riil. Kekuatan uang tersebut bisa nol bahkan negatif, akibat tergerus konsekuensi kenaikan harga BBM.
Artinya, kalau pemerintah dalam waktu dekat ini ingin mendapat dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur dan lainnya, sebaiknya dengan cara menghemat pengeluaran rutin yang ada dan mencegah kebocoran APBN, karena hal itu tidak berimplikasi inflasi. Sementara itu, dengan menaikkan harga BBM, hal itu akan menimbulkan multiplier effect (efek pengganda), yang bukan saja menghilangkan kekuatan riil dana yang dihemat. Bahkan, lebih dari itu, hal ini akan berimbas pada perekonomian nasional, seperti naiknya angka kemiskinan dan pengangguran dan penurunan daya beli masyarakat.
*sumber: TEMPO
sumber : http://ift.tt/1uliE0H
No comments:
Post a Comment