JAKARTA - Calon presiden nomor urut 2, Joko Widodo kerap mengeluk-elukkan sistem online yang digunakan oleh Pemprov DKI Jakarta. Dalam debat capres dan cawapres yang dilakukan beberapa waktu lalu, Jokowi mengaku akan menyelesaikan banyak persoalan negeri ini dengan sistem online.
Namun, fakta lain mengejutkan justru muncul dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI. Hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan (LK) Pemprov DKI Jakarta Tahun Anggaran 2013 lalu diketahui ternyata terdapat 86 temuan kerugian negara dengan proyek senilai Rp 1,54 triliun. Dari temuan itu, yang berindikasi kerugian daerah senilai Rp 85,36 miliar, temuan potensi kerugian daerah senilai Rp 1,33 triliun, kekurangan penerimaan daerah Rp 95,01 miliar dan temuan 3E atau pemborosan sebesar Rp 23,13 miliar.
Persoalan signifikan yang justru perlu mendapat perhatian khusus ialah sistem online yang diterapkan oleh Pemprov DKI Jakarta.
"Diantaranya pembuatan sistem informasi e-surat, e-dokumen, e-harga, e-budgetting, sistem belanja hibah dan bansos, e-aset, e-fasos-fasum dan e-pegawai tidak sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa. Bahkan berindikasi merugikan keuangan daerah senilai Rp 1,42 miliar," ujar Anggota V BPK RI, Agung Firman Sampurna di Gedung DPRD DKI, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (20/6).
Selain itu, BPK RI juga mengindikasikan penyaluran program dana bantuan sosial Kartu Jakarta Pintar (KJP) ganda sebanyak 9.006 buah. BPK RI menemukan nama anak dan nama ibu kandung penerima KJP identik. Akibatnya indikasi kerugian negara mencapai Rp 13,34 miliar.
Selain itu, lanjutnya, realisasi belanja Biaya Operasional Pendidikan (BOP) untuk sekolah negeri senilai Rp 1,57 triliun diindikasi mengalami kerugian sebanyak Rp 8,29 miliar. Temuan ini diperoleh BPK berdasarkan hasil uji 11 sekolah yang menerima BPO. Ternyata Pemprov DKI tidak mencatat bukti pertanggungjawaban dari sekolah. Laporan yang diserahkan hanya berupa pengembalian dana BOP dari sekolah usai dikurangi jumlah dana yang ditransfer kepada sekolah yang yang bersangkutan.
"Sementara itu penyaluran dana hibah BOP masih belum sesuai ketentuan dan tidak efektif. Di lapangan ternyata sekolah yang tidak mengajukan prosopsal justru menerima BOP. Dana itu tidak digunakan oleh sekolah yang bersangkutan. Bahkan juga terjadi manipulasi dokumen Surat Keterangan Tidak Mampu. Akibatnya dari anggaran sebanyak Rp 6,05 miliar dalam APBD 2013 diindikasikan mengalami kerugian sebesar Rp 2,19 miliar," demikian Agung Firman Sampurna. [rus/rmol]
sumber : http://ift.tt/1iOYqIm
No comments:
Post a Comment