Tuesday, February 11, 2014

Kepemimpinan, Tak Hanya untuk Jadi Bahan Obrolan










Anis Matta saat Deklarasi Pilgub Maluku Utara yang akhirnya dimenangkan AGK-Manthab



Oleh Abdullah Haidir



Kepemimpinan, selalu menjadi bahan diskusi menarik. Dari mulai akar rumput hingga di kalangan cendikia, baik formal maupun informal.



Ini semua memberikan isyarat kuat bahwa secara fitrah, kita menginginkan pemimpin ideal dan merupakan orang terbaik di tengah komunitas yang ada. Berikutnya, disadari atau tidak, kepemimpinan merupakan kebutuhan mutlak dalam kehidupan bermasyarakat. Dan sebaliknya, tidak ada seorang pun yang secara fitrah, rela dipimpin oleh pemimpin zalim. Mereka pasti meyakini bahwa kepemimpinan zalim hanya akan mendatangkan bencana bagi rakyatnya.



Syariat sendiri menguatkan urgensi kepemimpinan ini. Banyak nash yang menunjukkan hal tersebut. Contoh riil dalam masalah ini adalah, sikap para shahabat yang menunda penguburan Rasulullah saw sebelum menetapkan pemimpin mereka setelah kepergian beliau saw.



Masalahnya adalah, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang lahir seketika, kapan dikehendaki, ketika itu pula akan terwujud. Atau dia sesuatu yang dapat dipesan begitu saja jauh-jauh hari sebelumnya, agar kita mendapatkan pemimpin 'sesuai pesanan' di kemudian hari.



Justeru kepemimpinan lahir karena ada 'sesuatu langkah' yang menjadi faktor lahirnya pemimpin terbaik. Maka, bersikap proaktif dalam hal ini, selagi dilandasi oleh orientasi yang benar untuk kebaikan umat, tidak sekedar mengejar kekuasaan belaka, atau sekedar mengejar keuntungan pribadi, jauh lebih baik ketimbang sikap pasif, hanya melihat dari kejauhan atau hanya pandai memberikan komentar. Satu langkah nyata, lebih baik dari seribu kata tanpa realita.



Sikap aktif seperti ini memang sering mengundang cibiran dengan berbagai macam tuduhan dan prasangka. Namun sesungguhnya, sekali lagi, selama dilandasi oleh orientasi yang benar, justeru sikap ini yang lebih bertanggung jawab, karena dengan begitu kepemimpinan ideal baginya bukan sekedar wacana, tapi sebuah harapan riil yang membutuhkan tindakan riil. Sikap ini akan memberikan dorongan untuk berkontribusi dan bahkan siap menanggung resiko untuk itu, baik tenaga, harta maupun mental. Bahwa ada pihak yang menggunakan perkara ini sebagai kesempatan untuk meraih keuntungan pribadi atau kelompok, hal tersebut semestinya tidak menjadi alasan untuk menjauhinya, justeru cara yang paling efektif menghadapi mereka adalah dengan terjun langsung mewarnai medan ini dengan membawa paradigma baru yang benar dan lurus.



Berbicara tentang kepemimpin dalam skala nasional pada masa kini, nyaris tidak dapat kita pisahkan dari dunia politik. Lebih spesifik dapat kita katakan, bahwa bahwa kepemimpinan dalam skala nasional yang ada kini tak lepas dari institusi politik yang memproduk atau mengusungnya. Dalam hal ini adalah partai politik. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima, hal ini telah menjadi kenyataan.



Memangada faktor pendidikan, budaya dan sosial yang menjadi bibit lahirnya kepemimpinan berkualitas. Namun pada akhirnya, secara legal formal, kepemimpinan nasional harus melalui pintu institusi politik resmi. Mayoritas, kalau tidak dikatakan semua, para pemimpin di berbagai negara kini berasal dari partai politik yang nota bene merupakan istitusi politik yang diakui, khususnyadi negara-negara yang mempraktekkan pemilu untuk memilih pemimpinnya. Bahkan termasuk negara-negara yang baru selesai melakukan revolusi di Timur Tengah sekalipun, partai politik lebih dahulu didirikan sebelum mereka memilih pemimpinnya. Terlepas apakah mekanisme yang ada di dalamnya fair atau tidak, terlepas apakah kemudian kepemimpinannya kredibel atau tidak.



Bahkan, kalaupun ada figur yang cukup berpengaruh namun tidak berasal dari institusi politik, mereka pun tetap membutuhkan dukungan institusi politik sebagai kendaraan untuk dapat berkiprah dalam kepemimpinan nasional. Karenanya, tidak bijak jika hanya melihat sebelah mata terhadap keberadaan partai politik sebagai institusi politik yang diakui, apalagi dengan berbagai stigma negatif. Semestinya dia juga dilihat sebagai kancah pengkaderan kepemimpinan yang sangat dibutuhkan sebuah bangsa dan berbagai potensi positif lainnya. Maka, sehat tidaknya institusi politik ini pada akhirnya sangat menentukan seberapa banyak dan berkualitas kepemimpinan yang akan dilahirkan.



Karena itu, mengingingkan kepemimpinan ideal, baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang, dalam kontek kini dan disini, salah satunya dapat dilakukan denganberkontribusi ikut memperkuat dan menyehatkan institusi politik yang ada. Baik sebagai fungsionaris, anggota, atau sekedar memberikan support positif. Semakinbagus dan transparan mekanisme organisasi dalam tubuh institusi tersebut,seperti tertatanya program kaderasisi, rapihnya manajemen dan roda organisasi, mulusnyaproses suksesi, serta hidupnya musyawarah atau diskusi, akan semakin baik danbanyak pemimpin yang akan diproduk. Berikutnya, semakin banyak calon-calonpemimpin kredibel yang siap dipentaskan dan akhirnya akan semakin menyehatkan perpolitikan sebuah bangsa.



Disamping, jika kita merujuk dua syarat utama kepemimpinan dalam konsep Al-Quran,yaitu; Mumpuni dalam ilmu dan kekuatan (QS. Al-Baqarah: 247), hal tersebut sedikit banyak dapat terealisir melalui aktifitas dalam institusi politik.Karena, dari segi ilmu, aktif dalam institusi politik akan banyak menambahwawasan tentang ilmu politik dalam tataran aplikatif yang sulit didapatkankecuali mereka yang langsung terjun di dalamnya. Sesuatu yang sangat dibutuhkanbagi seorang pemimpin dalam dimensi luas. Akademisi berkelas dalam bidang kajian politik, tidak serta merta dapat menguasai dunia politik kalau dia tidakterjun langsung dalam agenda politik praktis. Belum lagi kalau berbicara masalah popularitas dan elektabilitas yang menjadi 'rumus baru' dalam dunia politik masa kini.



Adapun dari segi kekuatan, pada masa sekarang kekuatan yang dibutuhkan tidak semata kekuatan fisik, tapi yang sangat prinsip dalam sebuah kepemimpinan masa kini justeru kekuatan politik. Sebesar apapun kekuatan individu seseorang dalam memimpin,kalau tidak didukung kekuatan politik, maka dia tidak akan dapat menjalankanroda kepemimpinannya dengan baik. Pengalaman kepemimpinan BJ Habibi saatmenjabat Presiden RI yang tidak didukup full berbagai kekuatan politik kalaitu, dapat dijadikan pelajaran. Bahkan SBY yang popularitasnya cukup tinggipada pilpres lalu merasa perlu membentuk koalisi beberapa partai politik untukmembangun kekuatan politik.



Karenanya,menurut hemat saya, aktif bergabung dalam institusi politik atau mendukungnya secara positif dengan orientasi yang jelas dan benar, merupakan langkah ideal dan riil untuk mewujudkan kepemimpinan ideal. Meskipun harus diakui bahwa langkah inimengundang resiko dan konsekwensi. Namun, adakah sebuah harapan dan cita-cita besar tanpa resiko dan konsekwensi? Justeru itu lebih baik daripada menjadikan wacana kepemimpinan hanya sebatas topik pembahasan dalam diskusi dan obrolan yang tak kunjung habis, apalagi kalau berakhir dengan silang sengketa atau tuduhan dan prasangka, untuk kemudian secara praktis medan ini didominasi oleh orang-orang yang semata menjadikan kekuasan sebagai tujuan.



Kini, carilah institusi politik yang kita anggap ideal, atau setidaknya mendekati ideal jika tidak ada yang kita anggap ideal, atau setidaknya lagi, yang paling ringan mudharatnya, untuk kita dukung atau berkiprah di dalamnya sebagai upaya mewujudkan kepemimpinan yang kita harapkan.



Kalau saya...... Alhamdulillah, sudah mendapatkannya! Anda?










sumber : http://ift.tt/1eomZYU

No comments:

Post a Comment