Oleh KH Hilmi Aminuddin
Alhamdulillah dari posisi tidak dikenal—pada era 80 – 90an—pada waktu itu kita sudah merencanakan kapan kita akan muncul ke permukaan, dan kapan kira-kira akan terjadi kondisi seperti sekarang ini (era reformasi, red.).
Pada waktu itu kita sudah punya visi 2010. Hitung-hitungan itu berdasarkan pada hitungan fenomena masa itu, menurut pandangan atau hitungan manusia pada masa itu ada rejim militer yang kuat, yang kokoh, tapi kita yakin bagaimana pun kokohnya seseorang, yang mengalahkannya adalah fitroh. Pertama fitroh ketuaannya para diktator itu, memasuki hari-hari dimana dia sudah lapuk, pasti jatuh. Jadi dia akan dikalahkan oleh fitrohnya sendiri. Sampai kita hitung, sangat konservatif hitungannya, bahwa Soeharto itu akan turun sekitar tahun 2003, dan sampai dengan 2007 masih diperintah pewarisnya, yang mewarisi kekuatannya, tapi sudah tidak sekuat pewarisnya. Dan mulailah pada saat itu rakyat mulai berani sampai kira-kira runtuh secara sistem tahun 2007. Lalu rakyat mulai menghimpun kekuatan, dan kira-kira tahun 2010, partai-partai Islam akan muncul. Itulah hitungan kita secara konservatif pada masa itu.
Dengan hitungan seperti itu kita bekerja keras, kita yakin dengan kerja keras kita akan muncul. Kita berusaha ikhlas, itqon, berusaha ihsan dalam bekerja. Allah Yang Maha Mengetahui keikhlasan para amilin di medan dakwah, yang ternyata Allah mempercepat 12 tahun.
Pada tahun 1998 ternyata peluang jatuhnya rejim itu semakin kuat, maka kita lakukan langkah-langkah akselerasi. Masalahnya sederhana, kalau kita mau merencanakan, “Ah mau makan nasi kebuli minggu depan…”, kemudian tiba-tiba ada yang ngasih nasi kebuli hari ini, ya kita makan saja. Jangan kita biarkan karena rencana makannya juga minggu depan, bisa basi nasi kebulinya.
Begitulah Allah SWT memang selalu mendahului kita dengan ihsan-Nya, selalu mendahului kita dengan nikmat-Nya, selalu mendahului kita dengan pemberian-Nya, sampai kemunculan kita dipercepat 12 tahun. Ketika muncul itu kader inti kita baru 3.000 orang, kader pendukung 30.000 orang, di tengah-tengah masyarakat yang jumlahnya 200 juta orang.
Langkah kita melakukan ekselerasi termasuk berani dan perkataan itu bukan perkataan kita, melainkan kata orang lain. Banyak gerakan dakwah di negara-negara lain, yang juga dianggap berani, dimana penduduknya lebih sedikit, kemudian jumlah kadernya banyak, namun ternyata belum melakukan langkah akselerasi. Padahal kondisi penguasanya mirip, sama dengan kondisi Suharto pada tahun 1998, sudah lapuk, tua, umurnya sudah di atas 70 tahunan, sistemnya sudah korup, sudah bobrok, tapi masih kelihatan berdiri pemerintahan yang zholim itu, yang diktator itu. Para ahli dakwah ada yang menilai, ini sebetulnya bukan kekuatan rejim yang sudah lapuk, yang sudah tua, masalahnya cuma tidak ada yang ‘mendorong’ saja, maka kita membutuhkan usaha untuk itu.
Kondisi kita pada waktu itu, dengan umur dakwah yang masih muda—jumlah kader inti 3.000 dan kader pendukung 30.000 di tengah 200 juta lebih penduduknya, di bawah kekuasaan rejim militer—tetapi kita melihat usia rapuh, kondisi korup dari pemerintahannya, dan rakyat sudah bosan. Tahun 1997 – 1998 itu orang bukan hanya tidak senang, tapi sudah bosan. Sampai ada yang ditanya oleh wartawan karena orang itu ikut-ikutan demonstrasi. Ditanya, “Kenapa ikut demonstrasi?”. Jawab dia, “Gak usah nanya, saya lahir zaman Suharto, saya nikah zaman Suharto, anak saya juga lahir zaman Suharto.” Rakyat sudah bosan dengan pemerintahan yang korup dan rapuh.
Sebenarnya upaya untuk ‘mendorong’ sudah kita mulai dengan latihan-latihan. Dari awal 1995-an sudah mulai berlatih demo dengan mengangkat isu-isu internasional; isu Bosnia, bahkan dari tahun 1990-an kita angkat isu Afghanistan, Palestina, dll. Karena isunya internasional, maka pihak keamanan merasa aman saja, sebab tidak menyoroti isu dalam negeri. Banyak orang merasa aneh, “Isu dalam negeri banyak, kok ‘anak-anak muda berjenggot’ yang dijadikan tema demonya isu internasional terus?” Mereka tidak mengetahui rencana kita, padahal kita sedang latihan bagaimana mengkoordinir massa, “Kenapa ‘anak-anak muda berjenggot’ itu tidak peduli terhadap tanah air?”. Aparat merasa man-aman saja karena tidak mengangkat isu dalam negeri, dianggap tidak peduli terhadap bangsanya.
Ketika mula-mula mengangkat isu-isu internasional itu pun dilakukan di lingkungan kampus, yang dianggap wilayah aman oleh mereka. Kemudian pindah ke halaman masjid, juga dianggap wilayah aman. Lama-lama ke jalan di depan kampus, habis itu masuk lagi ke dalam kampus. Tidak pernah ada bentrokan. Aman-aman saja. Tapi sebetulnya kita sedang berlatih. Pada waktu itu kita gak punya tokoh, simbol, atau figur.Tapi karena kita sudah mulai menyentuh publik, maka dibutuhkan juga tokoh yang tampil, dan tokoh itu kita undang dalam demo-demo kita sampai datang situasi kondisi sektor ekonomi yang semakin parah. Terjadi krisis moneter yang dahsyat. Krisis ini membuat kita panik. Itu salah satu instrumen yang diberikan Allah untuk mendukung kita dalam reformasi dalam menjatuhkan sistem atau rejim yang zholim. Peran-peran itulah yang membuat kita menjadi syai’an madzkura (sesuatu yang bisa disebut).
Akhirnya masyarakat tahu bahwa ‘anak-anak muda berjenggot’ itu termasuk faktor penentu dalam reformasi, pengibar bendera reformasi di barisan terdepan.
sumber: al-intima.com
sumber : http://ift.tt/1Aqenlz
No comments:
Post a Comment