Thursday, February 26, 2015

Menjawab Tuduhan Kejamnya Syariat Islam




Oleh Ustadz Ahmad Sarwat, Lc., MA



Sebenarnya tidak ada alasan yang masuk akal untuk menuduh bahwa agama Islam itu kejam, hanya lantaran Islam masih menjalankan syariat yang ada ancaman hukuman rajam, qishash, potong tangan atau cambuk. Karena pada kenyataannya, hingga dewasa ini hukuman-hukuman seperti itu masih masih dijalankan di berbagai negara, termasuk negara-negara yang sekuler dan tidak berdasarkan agama, seperi RRC dan Amerika Serikat. (dan Indonesia, hukuman mati -red)



Menurut statistik, setidaknya masih ada 68 negara di dunia ini yang menerapkan hukuman mati secara legal sebagai bagian dari kebijakan hukum di masing-masing negara. Dari 68 negara itu, ternyata negara-negara yang dianggap sudah maju yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), seperti Singapura, Amerika, Inggris, Jepang dan China ternyata masih menjalankannya.



Jadi kalau mau menunduh hukum Islam itu kejam, mohon sebut juga bahwa ke-68 negara di dunia ini juga kejam dan tidak berprikemanusiaan. Jangan timpang sebelah, kalau Islam dibilang kejam tetapi kalau bukan Islam tidak dibilang kejam.



Untuk itu mari kita periksa langsung seperti apa hukuman mati yang masih berlangsung di berbagai negara maju di dunia, dimana mereka termasuk berada pada barisan terdepan dalam mengusung HAM dan prikemanusiaan.



1. Singapura



Singapura sebagai negeri yang sangat pro kepada kebijakan Israel ternayta bersikukuh untuk tetap menerapkan hukuman mati dan juga hukum cambuk. Pemerintah Singapura tidak main-main dengan hukuman mati ini. Bahkan sampai orang yang menghina hukuman mati di Singapura, Alan Shadrake, ditangkap dan dipidanakan, serta didenda sampai 20.000 USD.



Pengarang buku asal Inggris juga dipenjara selama enam pekan karena dianggap menghina pengadilan melalui bukunya yang membahas hukuman mati di Singapura. Dalam buku yang bertajuk Once a Jolly Hangman – Singapore Justice in The Dock, Shadrake mengkritik ketidakadilan dalam praktek hukuman mati di Singapura. Shadrake yang tinggal di Malaysia ditahan pemerintah Singapura pada Juli 2010 saat dia datang ke Singapura dari Malaysia untuk peluncuran bukunya.



Di Singapura, hukuman mati mulai diberlakukan sejak Singapura masih berada di bawah kekuasaan Inggris dan tetap diberlakukan dalam sistem hukum Singapura ketika Singapura merdeka pada tahun 1965.



Hukuman mati diancamkan terhadap tindak pidana pembunuhan dan kejahatan narkotika. Dalam hukum Singapura terdapat ketentuan yang mengancamkan hukuman mati terhadap seseorang di atas 18 tahun yang dinyatakan bersalah atas keterlibatannya dalam perdagangan heroin di atas 15 gram, morfin di atas 30 gram, kokain di atas 30 gram atau ganja di atas 500 gram.



Kejahatan yang juga diancam hukuman mati di Singapura, yaitu pengkhianatan terhadap negara, kejahatan terhadap Presiden, kepemilikan senjata illegal, penculikan dan menyebabkan seseorang yang tidak bersalah menjadi dihukum karena kesaksian palsu.



Tetapi dalam hukum Singapura itu sendiri terdapat pembatasan untuk dilakukannya hukuman mati, yaitu hukuman mati tidak dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang sedang hamil dan seorang anak yang berusia di bawah 18 tahun.[1]



Pada tahun 1995, tercatat 34 putusan hukuman mati dijatuhkan dan lebih dari 50 terpidana mati di eksekusi. Pada tahun berikutnya, 1996, tercatat 19 putusan hukuman mati dijatuhkan dan 38 terpidana mati di eksekusi. Sejak tahun 1991, lebih dari 420 terpidana mati di eksekusi di Singapura. Mayoritas dari terpidana mati tersebut adalah terpidana dengan tuduhan perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang.[2]



Singapura merupakan salah satu negara yang bersikukuh mempertahankan hukuman mati dalam beberapa diskusi di lembaga-lembaga internasional. Dalam Konferensi Diplomatik 1998 yang membahas mengenai Statuta Roma, Singapura memprotes penghapusan hukuman mati. Dalam argumennya Singapura menyatakan:



“Bentuk hukuman pasti akan berhubungan dengan tingkat kejahatan. Kita tidak boleh mempermainkan hak hidup dari seorang terpidana, sebaliknya, hak untuk melindungi korban juga tidak dapat dikesampingkan”.[3]



Yang bicara seperti itu bukan negara Islam, tetapi pemerintah Singapura yang nota bene tidak kenal agama, lebih mengandalkan kepada logika dan nalar saja.



Anehnya, kalau yang berbicara seperti pemerintah Singapura, tidak ada yang mengkritik dan menuduhnya kejam, sadis atau tidak berperikemanusiaan. Bahkan kalau ada pihak-pihak yang menghina hukum seperti itu di Singapura, pasti akan dihukum juga, seperti nasib si Alan Shadrake.



2. Amerika



Selama ini kita membayangkan Amerika adalah polisi dunia yang mengagungkan hak asasi manusia. Tapi tahukah kita bahwa sampai hari ini pun Amerika masih menerapkan hukuman mati kepada para pelanggar hukum yang berat.



Berdasarkan hukum negara federal, ancaman hukuman mati diancamkan terhadap 60 bentuk kejahatan, di antaranya pembunuhan terhadap pegawai pemerintahan federal, pengkhianatan negara, spionase dan perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang.[4]



Di samping itu, Amerika Serikat merupakan salah satu negara di dunia yang dalam sistem hukumnya memungkinkan dilaksanakannya eksekusi mati terhadap pelaku kejahatan yang belum berusia 18 tahun. Setidaknya 160 anak dijatuhi putusan hukuman mati sejak tahun 1973.



Dari 37 negara bagian yang masih mempertahankan hukuman mati, 15 di antaranya menetapkan batas usia minimal untuk dijatuhi hukuman mati adalah 18 tahun, 5 negara bagian menetapkan batas usia 17 tahun dan 17 negara bagian lainnya membatasi penerapan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan di bawah usia 16 tahun. Sedangkan pemerintahan federal menetapkan bahwa batas usia untuk dijatuhi hukuman mati adalah 18 tahun.



Apalagi pasca terjadinya serangan 11 September 2001, beberapa penyusun undang-undang di Alabama, Illinois, New Jersey, Nevada, Ohio dan North Carolina, membuat proposal anti-terrorist dengan maksud memperluas pemberlakuan hukuman mati terhadap para teroris. Dan seminggu setelah serangan 11 September, penyusun undang-undang di New York juga membuat anti-terrorism dengan maksud yang sama seperti proposal anti-terrorist, yaitu memperluas pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku terorisme.



Pada 13 November 2001, Presiden George W. Bush menandatangani Military Order on the Detention, Treatment and Trial Non-Citizens in The War Against Terrorism. Order tersebut ditujukan pada pemeriksaan pengadilan militer kepada seseorang yang menurut Presiden dapat dianggap sebagai tersangka dalam keterlibatannya dengan terorisme internasional. Pengadilan militer tersebut memiliki kewenangan untuk menjatuhkan hukuman mati.



3. Inggris



Di Inggris hukuman mati memang telah dihapus untuk tindak pidana pembunuhan pada 18 Desember 1969. Tetapi berdasarkan Treason Act 1914, hukuman mati masih dapat diberlakukan untuk tindakan pengkhianatan terhadap negara baik yang dilakukan pada saat perang maupun pada masa damai.[5]



Di samping itu, beberapa peraturan perundang-undangan lainnya juga masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu ancaman hukumannya, di antaranya Piracy Act 1837 yang mencantumkan ancaman hukuman mati terhadap pelaku pembajakan yang disertai dengan kekerasan.



Berdasarkan Army Act 1955, Air Force Act 1955 dan Naval Discipline Act 1957, hukuman mati diancamankan terhadap tentara yang melakukan pengkhianatan dan spionase di saat perang. Military Penal Code yang mulai berlaku sejak Juni 1986 pun masih memungkinkan penerapan hukuman mati atas tindak pidana yang dilakukan pada saat perang.



Dan lucunya, kalau hukuman mati masih berlaku di Inggris, tidak ada pihak-pihak yang mencemooh atau mendiskriditkan, sebagaimana dilakukan kepada pihak umat Islam.



4. Jepang



Jepang adalah salah satu negara maju di dunia dan punya kekuatan ekonomi yang tangguh, serta termasuk negeri dengan tingkat kejahatan yang rendah. Dan Jepang adalah salah satu negara maju di dunia yang masih mempertahankan hukuman mati sampai hari ini.



Bahkan Menteri Kehakiman Keiko Chiba memamerkan ruang eksekusi mati kepada media. Di ruangan tersebut media Jepang dapat melihat langsung ruang eksekusi yang berdinding kaca di Tokyo. Di tempat itu, biasanya para tahanan mati menjalani hukuman dengan cara digantung. Ruangan berwarna merah dan dilengkapi salib pada lantainya yang berwarna putih, menandai tepat berdirinya tahanan sebelum akhirnya eksekusi dimulai.



Ruangan tersebut juga dilengkapi dengan patung Budha berwarna emas yang digunakan para tahanan sebelum menjalani hukuman mati.



5. China



China menduduki peringkat tertinggi sebagai negara yang paling rajin menghukum mati warganya. Amnesty International memperkirakan setiap tahunnya ribuan nyawa melayang karena eksekusi mati. China yang giat membangun dan berambisi menjadi pemimpin dunia yang tidak berbelas kasihan pada kasus-kasus penyuapan, korupsi dan penggelapan pajak, apalagi pembunuhan.[6]



Dalam waktu singkat, seorang pidana dapat diringkus, diadili, divonis hukuman mati, diberikan kesempatan banding dan dieksekusi, semua berlangsung tidak lebih dari satu minggu. Sebagian besar terpidana hukuman mati dieksekusi dengan cara ditembak dibagian belakang kepala dengan satu peluru dari jarak dekat.



Uniknya, sebelum dikremasi tanpa dihadiri pihak keluarga, organ tubuh terpidana diangkat dan didonorkan pada orang-orang kaya dan orang-orang asing yang melakukan transplantasi organ di China.



Ditahun 80-an anggota keluarga terpidana mati diharuskan membayar peluruh yang digunakan. Hebatnya, menurut data ternyata 90% penduduk China mendukung hukuman mati di negerinya. Pemerintahan China tidak bergeming terhadap kecaman negara-negara lain akan moralitas dari hukuman mati yang dilakukan terhadap para terpidana. Bagi pemerintahan pusat bukan masalah apakah mereka harus mengampuni para terpidana tetapi bagaimana melakukan eksekusi dengan efisien dan mendapatkan keuntungan darinya.



Kini pemerintah China mengembangkan suatu kendaraan yang mereka sebut Bus Eksekusi untuk eksekusi hukuman mati yang lebih manusiawi dan effisien. Bus Eksekusi yang telah dirancang canggih agar hukuman mati berlangsung dengan proses murah dan efisien. Dikembangkan oleh satu perusahaan bernama Jinguan Auto, bus pencabut nyawa ini berharga hampir satu milyar rupiah dan dapat dikemudikan hingga kecepatan 120 Km/jam.



Dari luar bus ini nampak seperti kendaraan yang biasa digunakan untuk mengangkut turis, tetapi di dalamnya mirip dengan sebuah kamar operasi yang dilengkapi peralatan canggih. Proses eksekusi direkam kamera dan dapat disaksikan langsung oleh pejabat setempat dan masyarakat melalui layar monitor diluar bus.



Ide untuk mengembangkan bus penjemput ajal ini timbul dari kamar gas berjalan yang digunakan oleh Nazi pada tahun 1940-an agar proses pemindahan korban eksekusi berjalan cepat. Saat itu ilmuan Hitler mengembangkan kendaraan maut ini dengan menutup rapat dan memenuhi kamar eksekusi dengan karbon monoksida yang disemburkan dari pipa knalpot.



Pada mulanya bus penjemput nyawa ini digunakan untuk pasien-pasien rumah sakit jiwa Polandia. Nazi kemudian mengembangkannya hingga dapat memuat 50 orang tawanan yang diperintahkan untuk menyerahkan barang-barang bawaan mereka, melucuti pakaian dan dikunci dalam ruangan tertutup. Selagi gas menyembur dalam ruangan, bus berjalan menuju kuburan massal yang digali oleh tawanan lainnya.



Kini pemerintah China meniru apa yang dilakukan Nazi. Bus penjemput ajal menghemat biaya pembangunan fasilitas eksekusi dalam penjara atau gedung pengadilan, selain itu juga para terpidana dapat menjalani eksekusi di kota tempat kejahatan dilakukan.



“Demikian akan membuat masyarakat setempat berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan”, ujar seorang pejabat. Seorang juru bicara Jinguan Auto yang berlokasi diselatan Chongqing berkata bahwa mereka telah memproduksi dan menjual 10 unit Bus Eksekusi. Jumlah pasti Bus Eksekusi yang dioperasikan oleh pemerintah China tidak dapat diungkapkan tetapi telah diketahui bahwa propinsi Yunnan telah memiliki 18 unit bus dan selusin lainnya tersebar di lima propinsi lainnya.



Ukuran bus ini sebesar kendaraan roda empat dengan kapasitas 17 tempat duduk. “Kami belum mengeksport bus ini”, lanjutnya.



Seorang pejabat pemerintahan mengatakan bahwa bus penjemput ajal ini adalah satu pilihan yang lebih manusiawi daripada tembakan di belakang kepala (60% dari eksekusi dilakukan dengan cara tembak) dan juga guna memperbaiki citra China dalam pelanggaran HAM.



Kesimpulan



Kejam atau tidak kejam itu sifatnya relatif dan subjektif, tergantung dari mana kita memandangnya. Dan hal itu akan terkait erat dengan kurikulum resmi yang diajarkan atau diindoktrinasikan.



Bagi siswa-siswi Indonesia, Belanda itu penjajajah dan sifatnya kejam lantaran menjajah tanpa prikemanusiaan selama 3,5 abad. Fakta itulah yang mereka pelajari selama mereka menuntut ilmu di sekolah.



Tetapi buat anak-anak SD di Belanda, tentu saja nenek moyang mereka bukan penjajah. Sebab pelajaran sejarah mereka tidak mungkin menyebutkan mereka penjajah. Maka jangan heran kalau ada WNI yang sekolah di Belanda, kena bias sejarah lalu ikt-ikutan menolak bila dikatakan Belanda itu penjajah.



Jepang itu penjajah yang kejam di tahun 1945. Kesimpulan ini tercatat dalam kurikulum resmi negeri kita bahwa Jepang menjajah kita selama 3,5 tahun. Namun saya kurang yakin apakah seperti itu juga kurikulum resmi di Jepang sana. Apa mungkin mereka menuliskan bahwa nenek moyang mereka adalah penjajah?



Kalau masih ada saja orang Islam yang memandang hukum Islam itu kejam dan biadab, berarti dia salah asuhan, salah kurikulum pendidikan dan salah jalan pikiran. Salah juga dalam memilih guru agama dan salah dalam belajar sejarah Islam.



Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,



__

[1] “Singapore, The death penalty: A hidden toll of executions”, From Amnesty International, London-United Kingdom, http://ift.tt/1AdiJ9A, Last update: 15 Jan



[2] “Death Penalty News January 2006, Singapore Execution for Drug Trafficking”, From Amnesty International, London-United Kingdom, http://ift.tt/1AxN47C, Last update: 1



[3] Hans Goran Franck, “The Barbaric Punisment; Abolishing the Death Penalty”, Martinus Nijhoff Publishers, Great Britain, 2003, hal. 120.



[4] “United States of America; The execution of mentally ill offenders”, From Amnesty International, London-United Kingdom, http://ift.tt/1AdiGuD, hal. 24, Last update: 31 January 2006.



[5] Hans Goran Franck, “The Barbaric Punisment; Abolishing the Death Penalty”, Martinus Nijhoff Publishers, Great Britain, 2003, hal. 129.



[6] http://ift.tt/1AxN47E



Sumber: http://ift.tt/1AdiJ9E







sumber : http://ift.tt/1AdiJ9u

No comments:

Post a Comment