Mba @asmanadia & santri @YayasanTangguh sblm nonton @AslmBeijing. (foto by @AgusBudiyanto_) |
Oleh Muktia Farid*
Bioskop, bagi banyak orang sering diidentikkan dengan tempat berkumpulnya orang-orang yang maniak mencari tontonan film. Suasana bioskop juga identik dengan remang-remang sehingga banyak digunakan untuk pacaran, atau suasana yang ditingkahi dengan segerombolan remaja yang asyik ketawa-ketiwi sambil ngemil dan colak-colek. Bayangan semacam itu tak sepenuhnya salah, karena memang tumbuh dari hasil pengamatan banyak orang. Apalagi jika yang terbayang di kepala adalah bioskop jaman dulu, yang juga identik dengan kepulan asap rokok (karena tidak ber-AC).
Namun, dengan anggapan tentang bioskop yang memang begitulah adanya, Bapak Ibu saya sejak dulu justru menjadikan bioskop sebagai salah satu sarana menambah wawasan bagi putra-putrinya, baik wawasan umum maupun keIslaman.
Saya mengenal film The Message, Al-Kautsar, Nakalnya Anak-anak, Ira Maya Sopha, dan lain-lain lewat acara menonton bersama yang Bapak Ibu agendakan untuk seluruh anggota keluarga, puluhan tahun yang lalu saat saya masih anak SD.
Juga film-film generasi berikutnya seperti Walisanga, Sunan Kalijaga, Tjut Nyak Dien dan lain-lain, itu saya tonton karena diajak Bapak Ibu. Padahal, saya juga tahu Bapak Ibu bukan termasuk orangtua yang berlebih dari sisi keuangan, malah cenderung prihatin untuk memenuhi kebutuhan. Namun untuk mengajak anak-anaknya nonton di bioskop, sebisa mungkin bapak ibu mengajak kami menonton di kelas satu, dereten belakang. Semata-mata demi kenyamanan. Upaya penghematan tetap terasa dengan dimintanya kami untuk membawa bekal jajanan, tidak membeli di toko sekitar bioskop, dan sengaja jalan kaki rame-rame dari rumah sekitar 500 meter menuju ke gedung bioskop. Kendaraan yang bapak punya hanya motor, satu saja, sedang anaknya ada 6. Jadi agak merepotkan jika harus mengandalkan kendaraan.
Sayangnya, film-film bagus tak selamanya meraja. Lalu masa kejayaan film-film layar lebar perlahan memudar. Film-film bioskop didominasi film horor yang membuat jantung berdebar. Bioskop di berbagai kota pun banyak yang gulung tikar. Dulu yang rutin tiap tahun ada FFI, lama-lama menghilang. Hiburan beralih ke sinetron, yang dulu juga sempat mengalami masa kejayaan dengan dipilihnya sinetron-sinetron bermutu di FSI. Tapi itu pun tak lama.
Beberapa tahun belakangan, film layar lebar mulai menggeliat dengan banyak dibangunnya bioskop jaringan 21 atau XXI di berbagai kota. Bergairah lagi industri perfilman, dengan berbagai orientasi dan tujuan. Geliat ini juga disambut oleh para penyeru kebaikan, yang mencoba mengangkat novel-novel Islami yang bagus menjadi film layar lebar. Lalu tercatatlah Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan seterusnya, hingga film Assalamualaikum Beijing yang saat ini sedang tayang. Sambutan khalayak luas cukup bagus, meski jumlah penonton belum bisa menyaingi fiml best seller.
Namun, meski sudah banyak film-film yang sangat layak tonton semacam ini, masih banyak orang yang tetap enggan untuk menonton di bioskop. Ada beberapa alasan yang sering diungkapkan.
- Beberapa orang memilih menunggu versi DVD-nya, karena tak nyaman dengan suasana bioskop. Padahal kita perlu tahu bahwa jumlah penonton itu akan menentukan apakah film tersebut akan diputar lebih lama atau cukup tiga hari saja. Pemilik jaringan cineplex tentu juga nggak mau rugi memasang berlama-lama film yang nggak laku ditonton. Jika sudah begini, maka akan timbul efek jera. Tiap ada film bagus, kok yang nonton seuprit. Akhirnya produser pun males bikin film bagus, karena hampir selalu jadi proyek rugi. Nah, jika sudah begini, ya siap-siap aja lagi film kita akan dikuasai film horor dan mistik nggak jelas; dari misteri malam jumat kliwon, suster ngesot, sampai arwah bangkit dari kubur. Dari Nyi Loro Kidul penguasa laut selatan sampai penunggu gunung kawi. Sejarah berulang. Semoga tidak, ya.
Ohya, untuk saat ini sebetulnya perjuangan menembus box office cukup di angka 500.000 ribu penonton, dan alangkah indahnya kalau film-film dakwah bisa tembus angka ini di bioskop-bioskop ternama. Caranya, ya dengan datang nonton ke bioskop, jangan nunggu versi DVD atau resensinya doang. Jika kita merasa jengah dengan suasana bioskop yang campur baur seperti itu, mungkin ini justru celah kita utuk berdakwah lebih banyak. Nonton jangan sendirian atau dengan keluarga saja, tapi bisa sekaligus ajak keluarga besar atau tetangga kiri kanan. Jika keuangan mepet, ya paling tidak menyediakan tumpangan. Kalau perlu, rombongan ibu-ibu masjlis taklim diajak semua, biayanya bisa patungan atau subsidi silang. Ibu-ibu yang mampu bisa membayarkan ibu-ibu yang kurang mampu. Nah, kapasitas seat di bioskop cineplex yang tidak terlalu banyak itu akhirnya akan didominasi oleh rombongan kita, jadi suasananya tentu lebih kondusif. Yang mau pacaran mikir-mikir, yang mau cental-centil juga tahu diri.
Langkah selanjutnya, kesan tentang nonton film rame-rame ini kan bisa diangkat jadi tema pancingan untuk kajian ibu-ibu majlis taklim pekan berikutnya. Dijamin bakalan seru dah untuk dibahas! Tentu dengan mengaitkan pada dalil-dalil yang sesuai. Gimana, ustadzah? :)
- Alasan dari beberapa orang yang lain, merasa film tersebut belum ideal, dilihat dari sisi pemerannya dalam kehidupan kesehariannya. Meski di film tampak Islami, di keseharian jangankan soal komitmen berjilbab, kadang malah merokok pun masih menjadi kebiasaan seorang aktris perempuan.
Terhadap alasan tersebut, saya sering berpikir: Apakah harus, seorang pemain film memiliki karakter yang selaras dengan lakon yang diperankannya? Memang sih, kita akan merasa lebih nyaman saat tahu bahwa pemeran film tersebut juga menjalankan syariat Islam dalam kesehariannya, antara lain dengan jilbab (bagi yang muslimah). Tetapi, pada film-film nasional yang mengangkat tema dakwah, selayaknya kita juga bersikap adil.
Masih ingat film Omar yang begitu disanjung-sanjung kalangan kader dakwah sebagai film (serial televisi) yang sangat baik dan memberikan suasana ruhy tersendiri? Lalu siapa pemeran Umar Bin Khattab di film itu? Dia Samer Ismail, aktor muda dari Suriah, yang kesehariannya jelas tak berperilaku seperti Umar bn Khattab.
Atau kalau mau lebih jauh lagi, kembali pada film The Message yang melegenda. Di film tersebut Hamzah diperankan dengan sangat baik oleh Anthony Quinn, yang kehidupannya di dunia nyata terkenal sebagai superplayboy. Nggak percaya? Ya silahkan cari sendiri biografinya :D
Lalu, apa terus kita memilih untuk tidak menonton film The Message dan film Omar? Nyatanya tidak.
Jadi, mari kita berbuat adil. Justru malah bisa jadi dengan dilibatkannya aktris-aktor yang belum menerapkan syariat seperti yang diharapkan itu, keterlibatannya di film tersebut menjadi pintu hidayah bagi mereka untuk mengenal Islam lebih jauh. Siapa tahu dengan membaca skenario, menghayati perannya, berinteraksi dengan penulis novelnya, dll, lalu akan dia temukan Islam yang indah. Who knows?
Di sisi lain, ini juga menjadi PR bagi para penggiat dakwah untuk lebih banyak orang lagi yang menekuni seni peran dan sinematografi sehingga kebutuhan pemeran, kameraman dll juga nanti dapat dipenuhi dari lingkungan internal, sebisa mungkin. Itu langkah selanjutnya, setelah kita memiliki bekal ilmu yang cukup. Tentu tidak bisa radikal dengan memasang nama ustadz/ustadzah ternama jadi pemain film, menggantikan aktris-aktor profesional. Memangnya terus siapa saja nanti yang mau nonton? Mau bikin pengajian atau bikin film?
Sudah, gitu aja. Saya nggak berani bahas soal nonton bioskop ini dari sisi fiqh, karena memang nggak punya ilmunya. Ini cuma uneg-uneg seorang ibu rumah tangga biasa. Semoga berguna :)
*sumber: http://ift.tt/1BDbIS5
sumber : http://ift.tt/1yvAJBh
No comments:
Post a Comment