Oleh Ahmad Al-Hilah*
Sejumlah pengamat menyebut presiden Amerika Barack Obama sebagai sosok gamang, tidak memiliki visi dan strategi jelas dalam menyikapi krisis-krisis di Timur Tengah. Prioritas Obama adalah menarik tentara Amerika dari Irak, Afganistan untuk fokus dalam mengembangkan ekonomi dan meningkatkan level pelayanan sosial dan kesehatan kepada rakyat Amerika.
Analisis ini beralasan karena tentara Amerika menarik diri umumnya dari Afganistan dan Irak dan menolak intervensi langsung di sejumlah krisis di Timur Tengah seperti di Irak, Suriah, dan Yaman belakangan ini. Kecuali hanya memberikan bantuan kemanusiaan atau bantuan logistik untuk negara sahabat atau sekutunya atau intervensi dengan pesawat tempur untuk melakukan militer terbatas dengan tujuan perang atas terorisme dan ekstrimisme.
Tiga Kepentingan Strategis Amerika
Amerika memiliki sejumlah kepentingan strategi di kawasan Arab; siap intervensi dengan kekuatannya untuk kepentingan tersebut. Ini bisa dipahami dalam politik luar negeri.
Menuding Amerika bertanggungjawab atas krisis di kawasan Arab harus juga menganilis politik negeri paman Sam itu terhadap kawasan timur tengah dan masalahnya. Seperti diketahui Amerika memiliki sejumlah kepentingan strategi di kawasan Arab; siap intervensi dengan kekuatannya untuk kepentingan tersebut. Ini bisa dipahami dalam politik luar negeri. Di antara kepentingan itu;
Pertama, menjaga keamanan Israel.
Kedua, mengamankan sumber-sumber energi.
Ketiga, mengamankan pasar senjata dan konsumen terhadap produk-produk Amerika di Timur Tengah.
Kepentingan itu masih dipertahankan “semi aman” selama abad lalu dan Washington mampu mengatasi berbagai ancaman melalui politiknya atau kekuatan militernya tepatnya di kawasan Teluk Arab. Terakhir, setelah invasi Amerika ke Irak (rezim Shadam Husain), tak ada acaman nyata bagi kepentingan Amerika kecuali melalui kekuatan terorisme.
Kondisi ini berlangsung sampai meletus gelombang revolusi Arab (Arab Spring) yang diyakini penulis mengejutkan Washington sebagaimana sejumlah negara Arab juga terkejut. Sebab sejumlah sekutu Amerika terguling di kawasan Arab seperti Zainal Abidin (Tunisia), Husni Mubrak (Mesir). Arab Spring ini dianggap sebagai sirena bahaya bagi Amerika yang bisa menciptakan perubahan yang bisa mengancam kepentingan Amerika. Karena akan menghilangkan keyakinan akan masa depan kawasan. Amerika pun resah bila Amerika tidak memiliki alternatif bagi sekutunya di kawasan. Apalagi kelompok Islam naik ke pucuk pimpinan seperti di Mesir yang dianggap sebagai sentral dunia Arab.
AS khawatir masa depan perjanjian Cam David dan hubungan Mesir dengan Israel dan keamanannya serta pengaruh perubahan di Mesir terhadap negara-negara arab yang dianggap strategis dalam kepentingan minyak dan gas alam bagi Amerika.
Di tengah keresahan ini, tiba-tiba terjadi revolusi arus balik (seperti kudeta atas Mursi di Mesir) yang berpihak kepada kepentingan Amerika dan sejumlah negara Arab. Namun Amerika dengan pimpinan Barack Obama memiliki target jangka panjang daripada sekadar gelombang arus balik perubahan revolusi Arab. Sebab Amerika paham bahwa revolusi Arab (Arab Spring) adalag fenomena dan perwujudan dari sejumlah faktor rumit yang bertumpuk-tumpuk dalam kesadaran massal publik Arab yang sedang tumbuh terus. Revolusi motifnya adalah otoritarian, kezhaliman dan kemiskinan. Tujuan revolusi adalah kebebasan, perubahan, dan demokrasi yang bisa jadi menghasilkan pimpinan yang melawan Amerika dan Israel. Dari sini, pergantian kekuasaan dari presiden ke presiden tidak selalu meyakinkan dan memuaskan publik Arab ke arah perubahan yang lebih riil.
Prosedur non Klasik
Washington juga sadar intervensi langsung jika dilakukan tidak akan mendapatkan sambutan baik dari publik di kawasan secara umum. Sebab selama ini Amerika memiliki peran negatif sebagai sponsor keamanan Israel dan sahabat dekat rezim otoriter yang ditentang oleh bangsa Arab dan dinilai sebagai penyebab dari berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik. Apalagi ini akan membebankan biaya dan kemungkinan kerugian SDM dan materi yang besar yang harus dibayar Amerika seperti yang pernah dialami di Irak dan Afganistan.
Dari sini Washington dan Obama lebih memilih strategi diam atau 'diam yang strategis' dengan hanya mendukung atau mendorong sejumlah pihak Islam dan Arab untuk saling tarik ulur dan berkonflik. Mereka yang terlibat dalam konflik di Arab ini meyakini akan bisa mewujudkan kepentingan kelompok atau nasionalisme, namun pada kenyataannya sudah direncanakan oleh Amerika untuk bisa mencapai target strategi yang tidak klasik atau tidak pernah dijelaskan terang-terangan. Dari sini Amerika ingin mengambil keuntungan sebanyak mungkin. Apa saja kepentingan Amerika sekarang? Sementara Arab Spring sudah bertahun-tahun dan sudah sangat melelahkan.
- Menciptakan “strika” bagi kesadaran publik Arab dengan cara melakukan “operasi bedah cukup dalam” dan melelahkan dan menelan ‘biaya besar’ sehingga akan muncul kesadaran untuk menyesal kenapa berfikir ingin bebas dan berubah. Sehingga kemudian akan mengelu-elukan kembali era pemerintah rezim sekutu Amerika yang mereka jatuhkan melalui revolusi. Karena itu dibuat konflik dan perang bersaudara (kelompok) dan madzhab yang merupakan perang paling keras dan paling pelik dalam sejarah.
- Memeras habis energi negara-negara besar dalam konflik internal dan regional, baik energi militer dan ekonomi dengan semakin mendramatisir konflik. Konflik seperti ini akan terus disuntik energi agar bisa bertahan lama dalam beberapa tahun bahkan sampai satu dekade minimal. Apa yang terjadi di Suriah adalah contoh politik Washington yang berusaha untuk melanggengkan konflik melalui mencegah satu pihak baik oposisi atau rezim atau pendukungnya seperti Iran atau Turki atau Saudi untuk mengakhiri dan memastikan konflik. Maka dibuatlah konflik tanpa pemenang tanpa ada yang kalah, menghancurkan negeri dan warga Suriah sebagai manusia.
- Amerika ingin memeras kekuatan negara-negara kuat di kawasan Arab dan melucuti senjata non klasik yang suatu ketika dianggap menjadi ancaman strategi bagi keamanan Israel. Inilah kenapa Amerika harus melabuhkan kapal perangnya di Laut Tengah untuk menggempur Suriah sebagai balasan atas pengunaaan senjata kimia di Guthah timur. Namun ketika rezim Suriah setuju dengan prakarsa Rusia untuk memusanahkan senjata kimianya, Amerika membatalkan niat untuk menyerang. Namun sekenario perang dalam negeri dilanjutkan sehingga lebih dari separuh warga Suriah mengungsi dan separuh lainnya terbuang dari tempat tinggal mereka.
Hal yang sama juga berlaku dengan Iran ketika setuju pembebasan sanksi ekonomi yang mencekik Teheran karena intervensinya langsung dan dukungannya kepada Irak, Suriah, Libanon dan Yaman. Dari sini, Amerika pimpinan Barack Obama memanfaatkan situasi ekonomi yang mencekik Teheran untuk memberikan kompromi mendasar soal nuklir. Inilah yang disepakati di Lozan Swiss belakangan.
- Amerika ingin menghancurkan negara kebangsan yang lahir setelah perang dunia ke-2 dengan mengesankan konflik kesukuan (Kurdi), konflik kelompok (Muslim, Kristen, Dorouz) dan konflik madzhab (Syiah – Sunni). Kemudian dipicu disintregasi antar kelompok-kelompok yang kecil-kecil itu atau mozaik yang kehilangan kepada kemampuan hidup dan bangkit akibat hancurnya infrastruktur, hancurnya ekonomi, merebaknya kemiskinan dan kebodohan. Ini akan terjadi di Irak, Suriah, Yaman dan Libia. Bisa jadi akan merembet ke Iran, Saudi dan Mesir. Jika ini terjadi maka kawasan Arab akan kehilangan negara sentral yang mampu membentuk kekuatan negara Arab yang bisa bangkit.
- Dramatisasi konflik dan pertempuran dan kehancuran dengan cara menggerakkan roda ekonomi Amerika secara mendasar terutama di bidang industri militer yang dibutuhkan oleh pihak-pihak yang berkonflik. Jika sudah terjadi kehancuran, negara-negara itu akan membutuhkan teknologi Amerika untuk merekontruksi.
Berhasilkah Sekenario Becah Belah dan Reformat Kawasan Arab?
Yang paling berbahaya dari sekenario Amerika adalah memecah belah kawasan Arab menjadi negara-negara nasionalisme dan menformat kembali berdasarkan etnis, sekte dan madzhab. Ini diharapkan bisa berpihak kepada (tiga) kepentingan Amerika (menjaga keamanan Israel, mengamankan sumber energi, pasar Timur tengah yang konsumtif).
Syarat keberhasilan sekenario Amerika jika negara-negara Timur Tengah ini terbelah-belah dimana saat ini masih menunjukan saling menguatkan di tengah konflik yang melibatkan Iran, Saudi, Mesir dan Turki. Amerika berusaha memprovokasi dan menjerumuskan Iran untuk terus memperluas kekuasaannya ke negara Arab.
Inilah yang menafsirkan lemahnya sikap Amerika terhadap kudeta Houthi di Yaman. Amerika mendorong Iran agar maju terus di Yaman. Amerika juga menyatakan berkoordinasi dengan Houthi untuk melawan Al-Qaidah di Yaman. Dukungan Amerika terhadap Saudi belakangan ini adalah ingin mendorong agar menghadang Iran sehingga terjadi baku hantam antara kedua negara besar di kawasan ini sehingga negara regional Arab akan terbelah dan memihak salah satu.
Melihat sekenario ini, kawasan Arab bisa jadi akan semakin rumit dengan konflik dan akan meluas terus konfrontasi bersenjata di Yaman ke perang darat yang semakin sulit diprediksi hasilnya. Apalagi Iran juga memiliki kekuatan di Saudi timur yang bisa diprovokasi untuk melawan. Sementara Saudi juga memiiki kemampuan menggalang kekuatan negara Arab dan mendorong suku Balush sunni di Timur Iran hingga ke wilayah Pakistan untuk melawan rezim Iran.
Menurut penulis, Obama memiliki kemampuan tinggi dan memenej politik luar negeri dengan saraf dingin dan cerdas yang bisa mendorong Iran mewujudkan nafsu eskpansifnya di Irak, Suriah dan Yaman. AS tahu itu, negara-negara Arab akan bereaksi marah dan akan terbuka konflik sektarian. Ada yang sadar dan pula terpaksa menjalaninya.
Ketika Barack Obama diwawancara oleh kolumnis Thomas Freudman New York Times di Gedung Putih pada Sabtu (4/4) lalu, presiden Amerika itu mengatakakan, “Saya yakin ancaman terbesar bagi sekutu “sunni” Arab bukanlah dari Iran namun dari kekecewaan internal negara-negara itu. Kenapa kita tidak melihat warga Arab yang memerangi pelanggaran kemanusiaan.”
Sumber: infopalestina.com (9/4/2015)
sumber : http://ift.tt/1JtWxPR
No comments:
Post a Comment