Wednesday, June 24, 2015

Dubes Indonesia Menikmati Puasa Ramadan 21 Jam di Norwegia, Sahur-Buka Berbarengan


Duta Besar Indonesia untuk Norwegia, Yuwono Putranto, bercerita tentang pengalaman Ramadan di negara dengan periode ekstrem saat hari nyaris tak pernah gelap.

Waktu imsak pada tanggal 23 dan 24 Juni 2015 di ibu kota Norwegia, Oslo, adalah pukul 02.18 dan waktu buka puasa pukul 22.47. [Sekitar 21 jam waktu berpuasa]

Dengan periode ekstrem seperti ini, masyarakat Indonesia berbuka pada waktu yang berlainan, diserahkan kepada keputusan masing-masing, kata Yuwono.

"Ada yang berbuka pukul 19.00, 20.00, ada yang mengikuti waktu buka setempat pukul 22.47, ada yang mengikuti waktu Mekah atau negara Islam terdekat, biasanya Turki," kata Yuwono kepada BBC Indonesia.

Di sejumlah tempat di Norwegia, terutama di bagian utara, termasuk kota Tromso, pada periode musim panas bulan Juni dan Juli adalah waktu terjadinya Midnight Sun (Matahari Tengah Malam). Saat momen itu terjadi, matahari nyaris tidak tenggelam.

Dibantu cuaca enak

"Saya sendiri ikut yang waktu lokal jadi cukup panjang...selama minggu ini, matahari sinarnya tetap ada terus dan terang," cerita Yuwono tentang puncak musim panas di Oslo pada tanggal Selasa (23/06).

"Setelah membatalkan puasa biasanya saya makan malam menjelang tengah malam...jadi praktis makan sekali saja, buka sekaligus saur dan menjelang imsak tinggal minum."

Kondisi cuaca sekitar 17 derajat celsius membantu dalam berpuasa dengan waktu yang panjang ini, tambahnya.

"Suasana yang enak dengan cuaca sekitar 17 derajat celsius, jadi tak ada masalah, seperti biasa saja (puasa dalam waktu panjang ini)."

Tak bisa tentukan waktu Subuh dan Isya


Abdillah Suyuthi, warga Indonesia yang menjadi anggota kantor imam Muslim Society in Trondheim (MST), melakukan penelitian tentang durasi puasa pada periode ekstrem ini.

Pada Desember 2010, Suyuthi mengeluarkan laporan Investigation of Prayer and Fasting Time for Trondheim (Penelitian waktu salat dan puasa untuk Trondheim).

"Salah satu bagian dalam studi tersebut adalah membandingkan berbagai alternatif metode perhitungan waktu-waktu salat pada saat periode ekstrem. Kesimpulan studi itu adalah menyarankan untuk menerapkan waktu Mekah pada saat periode ekstrem," kata Suyuthi kepada BBC Indonesia.

Untuk Norwegia sendiri, menurut Suyuthi, sejak tahun 2014 telah ada kesepakatan nasional untuk menerapkan satu metode guna menentukan waktu salat dan puasa pada periode ekstrem ini.

Suyuthi mendasarkan penelitiannya pada letak daerah di lintang utara.

"Daerah yang terletak di 45 derajat LU hingga 66 derajat LU mengalami minimal satu hari dalam satu tahun, fenomena di mana cahaya merah tidak pernah hilang saat malam di horizon barat yang kemudian menyatu dengan fajar di horizon timur. Apa artinya? Artinya waktu Isya dan Subuh tidak bisa ditentukan."

"Sedangkan daerah yang terletak di 66 derajat LU hingga 90 derajat LU mengalami minimal satu hari dalam satu tahun, fenomena yang sama seperti di atas, mengalami minimal 1 hari dalam 1 tahun matahari tidak pernah tenggelam, dan juga minimal 1 hari dalam 1 tahun matahari tidak pernah terbit," tambah Suyuthi.

Periode saat matahari tak terbit dan tenggelam ini disebut sebagai periode ekstrem.

Seorang warga Indonesia yang tinggal di Norwegia Utara, Tromso, Safitri Johnsen, mengatakan biasanya dia mempersingkat waktu puasa.

"Saur dengan imsak jam 4 pagi dan buka jam 19:00, tidak kuat lebih dari itu," kata Safitri yang telah tinggal di Tromso selama lima tahun.

Di kota Norwegia utara ini, pada saat musim dingin matahari juga tidak terbit.

"Pertama tiba dulu, saat musim panas sulit tidur tapi sekarang sudah biasa karena ada gorden yang sangat pekat," kata Safitri.

Sumber: BBC




sumber : http://ift.tt/1Lmf5UJ

No comments:

Post a Comment