Saturday, July 5, 2014

Kalau Bukan PKI, Kenapa Harus Sewot dan Anarkis?




Sejumlah kalangan menyesalkan tindakan anarkis yang dilakukan massa Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) pendukung Jokowi-JK yang melakukan pengrusakan salah satu stasiun televisi. Bahkan, capres Jokowi mendukung aksi anarkis tersebut, dengan alasan sudah tak sabar menahan amarah karena selalu menghadapi kampanye hitam yang bernuansa SARA.



“Memangnya ada yang salah kalau disebut PKI. Buktinya, anak PKI Ribka Tjiptaning kan kader PDIP dan beliau bangga mengaku dirinya anak PKI. Kalau merasa bukan PKI, kenapa harus sewot dan melakukan tindakan anarkis. Bukan hanya PKI saja, kesan publik pada PDIP kan sebagai partainya orang-orang Kristen dan Katolik (palagisme). Ini kan bukan rahasia umum lagi, semua orang tahu. Jadi, santai aja lagi, bilang aja Aku Ra Popo, kenapa harus melakukan kekerasan dan menodai bulan suci Ramadhan ini dengan cara-cara seperti itu,” ujar wartawan senior Rusmin Effendy menanggapi aksi anarkis massa pendukung Jokowi di Jakarta, Kamis 3 Juli 2014.



Menurut Rusmin, masa pendukung Jokowi jangan merasa besar dan bangga dulu, harus bertindak rasional dan obyektif terhadap suatu masalah. “Kalau sampai Ramadhan ini diciderai dengan cara seperti itu, bukan tidak mungkin bisa membangkitkan emosional dan perlawanan umat Islam. Jangan memprovokasi masalah dan keadaan yang bisa memancing emosional masyarakat. Kalau umat Islam tersinggung dan melakukan jihat siapa yang berani menghentikannya. Karena itu, jangan nodai Ramadhan ini dengan tidakan dan perbuatan yang bisa memancing emosional, apalagi menyangkut aqidah,” ujarnya.



Dia berharap, masing-masing pasangan capres/cawapres harus mampu mengendalikan emosional massa pendukungnya untuk tidak berbuat hal-hal yang bisa memancing kerusuhan selama ramadhan. “Sangat disayangkan, seorang Jokowi justru mendukung aksi anarkis tersebut dengan alasan sudah kehilangan kesabaran karena selalu dihadapkan dengan kampanye hitam. Kalau Jokowi sosok yang bersih, santun, sederhana, dari keluarga terpandang, mana mungkin ada kampanye hitam. Justu kampanye hitam terjadi karena ada something wrong yang patut diklarifikasi,” tegasnya.



Dia mencontohkan, di media sosial ramai dipersoalkan latarbelakang keluarga Jokowi, khususnya menyangkut ayahnya yang bernama Widjiatno yang kemudian berubah menjadi Noto Nitihardjo, sedangkan ibunya bernama Sudhiatmi. Daerah kelahiran ibunya berasal dari Kelurahan Giriroto, Boyolali, sekitar 12 kilometer dari Surakarta yang dikenal basis utama PKI di Jawa Tengah pada tahun 1960 sampai 1980an.



“Persoalan ini kan bukan fitnah, tapi tulisan di media sosial. Kalau memang Jokowi jujur berdasarkan ajaran Islam, dia harus berani sumpah Al Quran yang menjelaskan secara detail jati dirinya dan menjawab semua tuduhan dan kampanye hitam. Kalau perlu membuat testimoni di media massa. Cepat atau lambat masyarakat juga akan tahu, siapa Jokowi yang sebenarnya. Ikon yang menyebutkan dirinya sebagai sosok yang santun, sederhana dan tegas hanyalah tipu-tipu belaka. Buktinya, kasus korupsi Jokowi selama menjabat Walikota Solo sudah dilaporkan ke KPK, tapi sampai sekarang tak ada kabarnya,” ujarnya.




Rusmin juga mengimbau masyarakat untuk cerdas memilih pemimpin dalam Pilpres 9 Juli mendatang, karena yang banyak ditonjolkan dari tim sukses sekarang ini hanyalah psy war (perang urat saraf), bukan war of ideas (perang ide) dan war of wits (perang kecerdasan). Paling tidak, Pilpres 2014 ini harus menjadi momentum bangsa memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan, kesejahteraan bagi masyarakat. Seperti yang dilakukan Presiden AS Barack Hussein Obama saat pertama kali maju sebagai presiden dengan bukunya yang terkenal; “Change We can Believe in” melalui American Dream. “Bangsa ini merindukan sosok pemimpin yang mampu membawa perubahan, bukan sekedar pencitraan melalui kartu KJS, revolusi mental, pembangunan tol laut, industri kreatif dan sebagainya,” ujarnya. [KbrNet/Aktual.co]



*http://ift.tt/VtdDtA











sumber : http://ift.tt/1mkeZR8

No comments:

Post a Comment